Haluan Riau

Friday, Feb 22nd

Last update08:30:19 PM GMT

You are here: NEWS GAGASAN Ancaman Narkoba bagi Generasi Muda

Ancaman Narkoba bagi Generasi Muda

Dalam tiga dasawarsa terakhir, peredaran gelap dan masalah narkoba di Indonesia terus berkembang. Hal ini antara lain tercermin dalam berbagai kasus kejahatan yang terkait masalah narkoba, termasuk berupa candu, hashis, heroin, dan morfin.

Yang selalu terpikir dalam merefleksi Hari Anti-madat Sedunia yang jatuh setiap tanggal 26 Juni adalah fakta makin tingginya kasus penyalahgunaan narkoba. Data menunjukan bahwa jumlah kasus narkoba meningkat dari 3.478 kasus tahun 2000 menjadi 8.401 kasus pada 2004 (atau naik rata-rata 28,9% per tahun). Sedangkan jumlah tersangka tindak kejahatan narkoba naik dari 4.955 tersangka tahun 2000 menjadi 11.315 tersangka pada 2004 (naik rata-rata 28,6% per tahun).
Pengguna narkoba dengan jarum suntik juga meningkat. Bahkan dari 169 ribu pengguna lebih, 50 persen di antaranya terinveksi HIV/AIDS. Sejak 2000-2004, BNN (Badan Narkotika Nasional) dan Polri menyita narkoba jenis narkotika antara lain ganja dan derivatnya sebanyak 127,7 ton dan 787.259 batang, heroin 93,9 kg, morfin 244,7 gram, dan kokain 84,7 kg, serta barang sitaan psikotropika jenis ATS, antara lain ekstasi 741.061 tablet dan shabu 233.106,81 gram.
Yang juga ironis, pelaku kejahatan narkoba tidak hanya kaum laki-laki tapi juga wanita dan juga ada yang berstatus ibu rumah tangga. Bahkan, tak jarang anak-anak juga dilibatkan pada transaksi narkoba. Dari temuan yang ada, secara umum bersumber pada soal kemiskinan sehingga mereka berani terjun ke bisnis narkoba. Fakta ini sangat beralasan dengan mengingat penegasan Ansori (2003) bahwa masalah narkoba di Indonesia telah melalui sejarah yang panjang.
Dalam tiga dasawarsa terakhir, peredaran gelap dan masalah narkoba di Indonesia terus berkembang. Hal ini antara lain tercermin dalam berbagai kasus kejahatan yang terkait masalah narkoba, termasuk berupa candu, hashis, heroin, dan morfin. Secara umum, mereka yang terlibat kasus narkoba di Indonesia sebagian besar adalah WNI (98%), dari berbagai profesi, termasuk PNS (0.73%), mahasiswa (4.74%), pelajar (3.36%) dan pengangguran (32.90%). Bahkan, para pelawak pun tidak ketinggalan terjerat kasus narkoba pula. Sementara pejabat publik atau PNS yang tersangkut kasus narkoba memang relatif masih sedikit, tetapi angka yang sebenarnya diduga jauh lebih besar karena tak terlaporkan. Sementara angka pecandu narkoba yang pengangguran tampak tinggi, termasuk di sini adalah anak-anak muda. Generasi muda pengangguran memang cukup rentan menjadi korban narkoba. Sebagian di antara mereka masih berada di bangku SMU dan SMP, berumur 15-24 tahun, 80% laki-laki dan 20% perempuan. (BNN, 2003).
Sebenarnya, pelaku kejahatan narkoba tidak hanya WNI, tetapi juga WNA. Bahkan, ada dugaan kuat telah terjalin sindikat dalam berbagai transaksi narkoba di Indonesia. Dalam beberapa temuan menunjukan bahwa pada 5 tahun terakhir sebanyak 20 warga Australia terlibat pelanggaran narkoba di Bali dan WNA yang tertangkap kasus narkoba di Bali berjumlah 79 orang.
Sebenarnya pemerintah dan dunia internasional sangat gencar memerangi kasus ancaman narkoba. Namun sayangnya, peredaran narkoba justru bertambah gencar seiring dengan gencarnya peperangan melawan narkoba itu sendiri.
Memang, di satu sisi publisitas ini bisa meredam peredarannya. Namun di sisi lain, yang dibutuhkan adalah tindakan konkret agar peredaran narkoba bisa diminimalisasi (baca: jika dihilangkan memang tak bisa). Angka penyalahgunaan narkoba meningkat tajam meskipun aparat keamanan, Badan Narkotika Nasional (BNN), Gerakan Anti-narkoba (Granat) serta beberapa LSM semakin gencar memerangi peredaran narkoba. Tentu ada banyak alasan yang mendasari mengapa kasus ini tetap tidak bisa dituntaskan. Oleh karena itu, kerja kolektif dan sistematis sebaiknya memang harus lebih ditingkatkan untuk mencegah semakin meluasnya peredaran.
Perlu dibedakan tingkatan pengunaan narkoba (drug user): Yakni: a) Orang yang dalam keadaan tak memakai narkoba (abtinence). b) Tahap coba-coba (experimen user). c) Pemakaian narkoba sebagai bagian dari kegiatan rekreasi atau pesta (social user). d) Pemakaian narkoba secara teratur (habitual user). e) Pemakai yang merasa sangat tergantung dengan norkoba (addict) (Pada tahap ini, secara psikologis pengguna merasa sulit terlepas dari narkoba). f) Pemakai yang sudah tergantung dengan narkoba (H-C addict/dependent). Pada tahap ini, secara fisik dan psikologis sang pecandu sudah sulit melepaskan diri dari ketergantungannya mengonsumsi narkoba.
Tingkatan a-d relatif masih bisa ditolong. Mereka juga belum perlu menjalani proses ditoxsifikasi (mengeluarkan racun narkoba dalam darah). Mereka hanya perlu terapi sosial, tapi bagi yang sudah berada pada tahap addict dan dependent, mereka perlu di-detox dan perlu menjalani proses rehabilitasi secara intensif untuk memperkuat proses penyembuhannya. (Ibid, 2003).
Terlepas dari berbagai faktor tersebut, yang juga sangat ironis ternyata tidak sedikit dari kaum perempuan yang terjerumus ke narkoba. Terkait hal ini, wajar jika kemudian Adiningsih (2003) menegaskan bahwa eksistensi kaum perempuan dalam narkoba hanya sebagai pelaku-pengedar saja atau justru sebagai korban bisnis narkoba?
Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan mudah karena sangat tipis perbedaan antara keduanya. Tidak tertutup kemungkinan, suatu kondisi tertentu membuat perempuan yang awalnya adalah korban, berubah menjadi pelaku. Bahkan, tipisnya batas itu, sehingga bisa saja seorang perempuan yang sesungguhnya adalah korban namun tampak seperti pelaku, sehingga ia justru diperlakukan layaknya penjahat. Jadi, kondisinya memang sangat ironis dan fakta ini menjadi ancaman serius bagi kontinuitas pembangunan kualitas SDM ke depannya.
Narkoba telah menjadi masalah pelik di negeri ini. Korbannya berasal dari berbagai kalangan, tak terkecuali para pejabat publik dan sebagian anak muda kita. Yang jelas narkoba berdampak buruk dari segi apa pun. Pecandunya akan mengalami psiko-sosial dissorder. Berbagai studi menunjukan bahwa penyalahgunaan narkoba berkaitan dengan peristiwa kecelakaan lalu lintas dan tindak kejahatan, bahkan dewasa ini, penggunaan jarum suntik narkoba menjadi transmisi penularan PMS, HIV, hepoatitis C yang sangat efektif. Di Indonesia, kasus HIV/AIDS melalui transmisi narkoba suntikan meningkat secara drastis. Apabila tahun 2001 angka kasus infeksi HIV yang melalui narkoba suntikan sebesar 1%, maka pada tahun 2001 menjadi 19%, dan terus meningkat sekitar 40-50% pada tahun 2003. (Depkes RI, 2003).
Fakta itu menunjukkan bahwa HIV/ AIDS kini telah menjadi ancaman serius. Berdasar data dari PBB, penderita HIV/ AIDS sebagian besar perempuan. Data itu menunjukkan bahwa secara global sekitar 41-50% perempuan terinfeksi HIV/AIDS, bahkan di Sub-Sahara Afrika, sekitar 58% penderita HIV/AIDS adalah perempuan. Dua-pertiga dari perempuan yang terinfeksi HIV/AIDS berusia di bawah 24 tahun dan kecenderungan ini banyak terjadi di Asia. Paradigma baru pencegahan-penanggulangan HIV/AIDS yang memberdayakan perempuan, menyentuh aspek keadilan serta kesetaraan gender, dan juga menggunakan perspektif hak asasi perempuan dengan demikian sangatlah mendesak. Paradigma baru ini tidak sempit pada solusi medis dan moralitas, melainkan lebih luas pada transformasi politik, ekonomi, sosial, budaya dalam kerangka membangun keadilan dan kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki.

AddThis Social Bookmark Button

Add comment


Security code
Refresh