Haluan Riau

Monday, Jan 14th

Last update05:00:00 PM GMT

You are here: PEKANBARU ZONA PEKAN ‘Kesetaraan Yang Kian Dipertanyakan’

‘Kesetaraan Yang Kian Dipertanyakan’

Seminar daerah sempena Hari Ibu bertajuk  'Telaah Kritis RUU Keadilan Ksetaraan Gender' yang diadakan KAMMI komisariat Tuanku Tambusai (Universitas Riau) dan komisariat Raja Ali Haji (dari Universitas  Islam Negeri Syarif Qasim). Pemateri: Dr. Leny Nofianti MS. SE. MSi AK (kanan), Siska SE MSI AK (tengah), Meri Fajriati SpD (moderator).

Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) dibahas secara terbuka di DPR. Suara pro-kontra mulai bermunculan. Apakah  masyarakat harus menerima atau menolak RUU KKG ini?

Jika menelaah Draf RUU KKG/Timja/24/agustus/2011  (RUU KKG), maka  sejatinya bagi umat muslim (Islam) ini mesti menolak. Sebab, secara mendasar berbagai konsep dalam RUU tersebut bertentangan dengan konsep-konsep dasar ajaran Islam. Ada sejumlah alasan yang mengharuskan individu sebagai Muslim dan sebagai orang Indonesia menolak RUU KKG ini.
Demikian hal utama pokok pembahasan dalam seminar daerah sempena Hari Ibu bertajuk  'Telaah Kritis RUU Keadilan Ksetaraan Gender' yang diadakan KAMMI komisariat Tuanku Tambusai (Universitas Riau) dan komisariat Raja Ali Haji (dari Universitas  Islam Negeri Syarif Qasim). Acara berlangsung di Bapelkes pada Sabtu (5/1) pagi.
Menurut ketua panitia, Sabariah   seminar yang dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa dari berbagai  PTN dan PTS se-Pekanbaru itu, sebagai langkah awal pemberitahuan kepada masyarakat apa itu RUU KKG.  ”Karena dari tinjauan lapangan, yang kita lihat di tengah-tengah masyarakat, banyak yang belum tahu apa itu RUU  KKG. Jangan sampai ketika ketuk palu nanti, saat undang-undang itu disyahkan,  baru banyak yang kelabakan. Maka, melalui seminar ini, diharapkan peserta  yang hadir  menemukan jawaban, kenapa RUU KKG itu perlu ditelaah ulang. Bahkan bukan tak mungkin  kita tolak.”
Kemudian, Sabariah juga menambahkan dampak buruk yang akan  bakal terjadi, jika RUU KKG itu nantinya ditetapkan. Semisal pernikahan sejenis bukan tak mungkin bakal  menjadi hal biasa, fitrah perempuan akan  terhapuskan. Dan, hal itu  bertentangan dengan budaya timur. Sabariah juga melihat dari segi agama, RUU KKG itu bertentangan  dengan syariat.   Lebih jauh,  ia menyorot, bahwasanya RUU KKG ini merupakan RUU yang ada campur tangan dari barat.  Bukan tak mungkin ada tujuan tersembunyi.  Muslim di  tanah air,  bakal kabur ‘identitas’nya. Islam akan hanya tinggal di KTP.
“Harapan , kita berharap peserta yang hadir minimal mereka bisa mentransfer  ilmunya kembali kepada teman  atau rekan  mereka yang  belum sempat hadir di sini.  Minimal bisa memberikan pemahaman kepada yang lain  apa itu RUU KKG. Dan, kami tidak akan berhenti  sampai  di sini. Akan ada follow up aksi ke DPR nantinya, bahwasanya kita menolak RUU  KKG itu,” tegas Sabariah.
Di bagian lain, pemateri yang terdiri dari Dr. Leny Nofianti MS. SE. MSi AK (Bendahara Pusat Studi Wanita) dan Siska SE MSI AK (Dosen Ekonomi UIR) masing-masing menyorot dari sisi apa definisi  gender itu sendiri,  dan sejarah kesetaraan gender itu. Leny Nofianti dalam makalahnya, lebih menekankan agama (Islam) sebagai rujukan atas fenomena  kesetaraan gender   yang kencang gaungnya belakangan.
“Definisi "gender" dalam RUU ini sudah bertentangan dengan konsep Islam tentang peran dan kedudukan perempuan dalam Islam. RUU ini mendefinisikan gender sebagai berikut: "Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya." (pasal 1:1)
Definisi gender seperti itu adalah sangat keliru. Sebab, menurut konsep Islam, tugas, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyu Allah, dan tidak semuanya merupakan produk budaya,” urai Leny Nofianti, “Tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah keluarga adalah berdasarkan wahyu (al-Quran dan Sunnah Rasul). Sepanjang sejarah Islam, di belahan dunia mana saja, tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga sudah dipahami, merupakan perkara yang lazim dalam agama Islam (ma'lumun minad din bid-dharurah). Bahwa yang menjadi wali dan saksi dalam pernikahan adalah laki-laki dan bukan perempuan. Ini juga sudah mafhum. Karena berdasarkan pada wahyu, maka konsep Islam tentang pembagian peran laki-laki dan perempuan itu bersifat abadi, lintas zaman dan lintas budaya,” tegasnya.
Doktor lulusan Unpad  Bandung itu juga  menyebut beberapa pemicu, kenapa kesetaraan gender itu kian menguat. Seperti pendidikan yang  terkesan  rendah  umumnya  dialami oleh wanita, kekerasan dalam rumah tangga dan lainnya.
Sedang Siska lebih menekankan  dan ‘kecemasannya’  jika RUU KKG kelak disyahkan.  “Tidak bisa dipungkiri, penyebaran paham "kesetaraan gender" saat ini telah menjadi program unggulan dalam proyek liberalisasi Islam di Indonesia. Banyak organisasi Islam yang memanfaatkan dana-dana bantuan sejumlah LSM Barat untuk menggarap perempuan-perempuan muslimah agar memiliki paham kesetaraan gender ini. Perempuan muslimah kini didorong untuk berebut dengan laki-laki di lahan publik, dalam semua bidang. Mereka diberikan angan-angan kosong, seolah-olah mereka akan bahagia jika mampu bersaing dengan laki-laki,” urai Siska. “Ke depan, tuntutan semacam ini mungkin akan terus bertambah, di berbagai bidang kehidupan. Sesuai dengan tuntutan pelaksaan konsep Human Development Index (HDI), wanita dituntut berperan aktif dalam pembangunan, dengan cara terjun ke berbagai sektor publik. Seorang wanita yang dengan tekun dan serius menjalankan kegiatannya sebagai Ibu Rumah Tangga, mendidik anak-anaknya dengan baik, tidak dimasukkan ke dalam ketegori "berpartisipasi dalam pembagunan". Tentu, konsep semacam ini sangatlah aneh dalam perspektif Islam dan nilai-nilai tradisi yang juga sudah dipengaruhi Islam,” imbuhnya pula.
Menurut perempuan berdarah Minang itu, kesetaraan yang didengungkan itu malah sudah seakan melebihi ‘kapasitas’. Katanya, Undang-Undang tentang kesetaraan itu sejatinya sudah banyak dan demikian beragam.  Tinggal dioptimalkan. (Arlen ara Guci)

Add comment


Security code
Refresh