Haluan Riau

Sunday, Jan 13th

Last update05:00:00 PM GMT

You are here: NEWS UTAMA “Pemprov tak Punya Kemampuan”

“Pemprov tak Punya Kemampuan”

PEKANBARU-Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Riau saban tahun terus meningkat. Sayangnya pemerintah tak mampu membelanjakan anggaran itu sesuai dengan perencanaaan. Sehingga Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran  atau anggaran yang tak terserap sangat tinggi. Berdasarkan data yang dibeberkan FITRA Riau, Silpa tahun 2009 sebesar Rp 188 miliar. Pada 2011 meningkat menjadi Rp1,3 triliun. Tahun 2012 dengan APBD Rp8,3 triliun, Silpa kembali membengkak menjadi Rp1.834.864.765.217,92.
Meningkatnya APBD seyognyanya memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, dipergunakan sebaik-baiknya bagi kemakmuran rakyat. Namun, membengkaknya Silpa menunjukkan pemerintah Riau tidak mampu menggunakan APBD dengan sebaik-baiknya. Ini menjadi potret buruknya kinerja birokrasi pada pemerintah Provinsi Riau.
Anggota Komisi C DPRD Riau, Zukri Misran mengatakan terjadinya Silpa yang begitu tinggi karena pemerintah tidak bisa merealisasikan anggaran yang sudah direncanakan. "Hal ini terjadi karena ketidakmampuan satker dalam menyerap anggaran.
Pemprov
Ketidakmampuan Satker itu juga berarti Gubernur tak mampu menempatkan para pembantunya untuk menjalankan program pemerintahan," ujarnya.
Karena itu, Zukri mewanti-wanti Gubri agar persoalan ini menjadi pelajaran yang sangat berharga.
"Maka dalam menempatkan pejabat haruslah berdasarkan kapasitasnya. Tidak berdasarkan kedekatan, tapi berdasarkan kemampuan," tambahnya.
Selain itu, Zukri juga menyorot soal estimasi dan proyeksi yang dipakai pemerintah terlalu rendah di APBD murni. Akibatnya terjadi penambahan yang cukup signifikan pada APBD Perubahan. Sementara, daya serap pada APBD Perubahan sangat rendah karena waktunya yang sangat terbatas.

Untuk APBD 2013 Zukri juga menilai program yang mendorong perbaikan ekonomi masyarakat semakin tidak jelas.

Sebelumnya, Defisi Riset Forum Transparansi Anggaran untuk Indonesia (FITRA) Riau, Triono Hadi dalam konference pers, Kamis (3/1) mengatakan pemerintah tidak mampu menyerap anggaran, ini terlihat dari Silpa setiap tahun yang terus naik dan membengkak.

Dijelaskannya, 4 tahun terakhir APBD Riau terus mengalami peningkatan yang signifikan. Hal tersebut juga dibarengi dengan meningkatnya rencana belanja daerah. Tahun 2009 tercatat realisasi belanja daerah Rp3,7 triliun.

Tahun 2012 lalu direncanakan Rp 8,3 triliun. Belanja daerah itu tumbuh 96 persen dibandingkan realisasi tahun 2011 lalu, yakni Rp4.264.819.457.766. Pada APBD 2013 juga meningkat menjadi Rp8,362 triliun.

Silpa tahun 2009 sebesar Rp 188 miliar dan meningkat menjadi Rp1,3 triliun di tahun 2011 lalu. Sedangkan di tahun 2012 dengan APBD Rp8,3 triliun, Silpa kembali membengkak menjadi Rp1.834.864.765.217,92.
Meningkatnya APBD seyognyanya memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, dipergunakan sebaik-baiknya bagi kemakmuran rakyat. Namun, membengkaknya Silpa menunjukkan pemerintah Riau tidak mampu menggunakan APBD dengan sebaik-baiknya. Ini menjadi potret buruknya kinerja birokrasi pada pemerintah Provinsi Riau.

Adapun yang menjadi penyebab, menurut Triono, karena buruknya perencanaan anggaran. Alasannya, sejak awal anggaran disusun, tidak memperhatikan kapasitas SKPD. Pola penganggaran menganut incremental, yakni setiap tahun jatah anggaran harus naik, tidak peduli kemampuan Satker tersebut dalam menyerap anggaran tahun sebelumnya. Selain itu tranfer pusat juga dinilai lambat.

Karenanya, anggaran negara yang seharusnya bisa direalisasikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, maupun dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat menjadi sia-sia karena tidak terserap dengan baik.

Rasio Silpa terhadap belanja agregat provinsi, kabupaten dan kota dari hasil analisis Kementrian Keuangan RI 2012, sebagaimana yang dipaparkan FITRA Riau menunjukkan, Provinsi Riau menjadi provinsi pertama terbesar Silpa-nya di Indonesia. Bahkan Riau, dalam penyerapan anggaran tertinggal dari Provinsi Kepri dan Kaltim. Kepri hanya 16,1 persen yang kemudian disusul Kaltim 17,9 persen. Terakhir Riau dengan agregat 20,3 persen. (syafrizal)

Add comment


Security code
Refresh