Peran seorang tentara harus berani bertempur hingga titik darah penghabisan demi tujuan meraih kemenangan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih layak. Jika andai saja ada tentara yang mundur akibat takut gugur, maka keadilan yang menjadi impian bersama tak akan pernah terdapatkan. Pada akhirnya, negara yang selama ini ia bela akan menjadi negara yang terjajah oleh para pasukan lain yang merebut dengan cara paksa. Begitu juga dengan peran presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di samping mantan pasukan bersenjata, SBY kini juga menjadi presiden sekaligus kepala pemerintahan yang berjibaku susah payah menggerakkan negara Indonesia mencapai keadilan yang mungkin saat ini hanya menjadi impian para banyak rakyat negeri ini.
Keadilan yang selama ini hanya menjadi bayangan bagi bangsa menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi SBY. Pasalnya, ketika pertama kali SBY memotori pergerakan negara Indonesia beliau dengan gamblang dan berani mencetuskan propaganda yang sifatnya menindak tegas kasus korupsi. Dalam hal ini, sudah jelas bahwasanya SBY sangat “murka” ketika negara ini dibombardir dengan meluapnya korupsi, dan dengan maksud tersirat, SBY sangat bangga ketika kasus korupsi di negeri ini dapat beliau bumi hanguskan.
Namun, Selama Indonesia di bawah naungan rezim SBY eksistensi korupsi di negeri tak semakin berkurang justru semakin menjadi-jadi. Tentunya jika dipahami lebih cermat, problem demikian menunjukkan kontradiksi antara cita (Stop Korupsi) yang telah SBY gagas dengan realita yang sekarang ini terjadi. Dalam peringatan Hari Anti Korupsi SBY menuturkan bahwa, Penegakan Hukum harus dilakukan tanpa gangguan politik apa pun. Sebab, hukum, menurut SBY, sangat berkaitan dengan kebenaran dan keadilan. Di samping itu, eksistensi politik bagaimanapun tidak bebas dari kepentingan untuk kekuasaan. (Suara Pembaharuan, 10/12/13)
Menafsirkan pernyataan yang diucapkan oleh presiden ke-5 di atas, kiranya dipandang perlu untuk dilakukan analisis jika nantinya beliau benar-benar mengharapkan penegakan hukum bisa ditegakkan secara adil (tanpa embel-embel politik). Maka langkah yang perlu dilakukan adalah memberi gerak sepenuhnya kepada pihak penegak hukum. Selain itu, pihak hukum juga harus sepenuhnya diberi kepercayaan dalam mengusut segala macam kasus yang sedang ditangani.
Alasan lain SBY menggagas planding demikian disebabkan adanya korupsi yang semakin tercipta semakin sistematis, struktur, dan terukur. Di sisi lain, situasi pejabat di daerah dan birokrasi mengalami kegamangan dalam melaksanakan tugasnya, karena takut disalahkan korupsi. Namun, hal yang harus dilakukan, bahwa penegakan hukum merupakan harga mati.
Tak Perlu Cemas
Baru-baru ini, penangkapan Akil Mochtar (Mantan Ketua MK) dan Hakim Tipikor Kota Semarang bisa dijadikan sebagai gambaran atas keganasan virus korupsi yang telah menjangkiti para elite birokrat maupun penegak hukum. Namun di samping itu, kiranya juga tak perlu begitu dikhawatirkan bagi para penegak hukum yang notabene adil. Justru dengan adanya kasus tersebut, para penegak hukum harus lebih mengencangkan ikat pinggang dan sadar akan posisi dirinya sebagai salah satu orang “tersuci” setelah Tuhan.
Dalam konteks di atas bermaksud supaya para penegak hukum lebih berhati-hati dalam menentukan suatu pilihan. Atau dengan kata lain harus bisa menggenggam suatu amanah yang telah dipercayakan rakyat kepadanya, dan jangan sampai amanat yang “sakral” menjadi terselewengkan hanya gara-gara sifat materialistik.
Begitu juga presiden sekaligus berstatus sebagai kepala negara. Sudah seharusnya SBY mendukung penuh kinerja yang dilakukan oleh pihak penegak hukum. Maksud dari tujuan ini adalah, supaya dari penegak hukum nantinya bisa leluasa mengambil kebijakan. Sehingga para penegak hukum bisa leluasa menangani kasus korupsi yang selama ini terstruktur dengan terukur mulai dari bawahan sampai ke lingkup atasan.
Ditemui terpisah, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengatakan, kepala daerah yang bersih sepatutnya tak perlu cemas. Abraham menegaskan bahwa KPK hingga saat ini masih berada pada jalur yang tepat. Dengan prinsip kehati-hatian, profesionalitas dan independen, lembaganya tidak terintervensi.
Penghargaan
Dalam membongkar berbagai kasus rumit terkait dengan korupsi tentu merupakan keniscayaan melaporkan bagi orang yang mengetahuinya. Akan tetapi hal ini sudah dianggap biasa bagi pihak yang tahu akan tetapi orang yang tahu tersebut tidak melaporkannya kepada pihak yang berwajib.
Ada yang menarik dari gagasan yang dikeluarkan oleh pihak KPK. Dalam membongkar kasus korupsi, bagi siapa saja yang berani menegakkan amar makruf nahi munkar dalam hal membongkar kasus korupsi akan diberi suatu penghargaan dari pihak KPK. Gagasan ini sudah pernah dilakukan ketika Giri Suprapdiono (pihak KPK) di Istora Senayan, Senin (9/12). Dalam acara tersebut, pihak KPK menyerahkan penghargaan kepada institusi yang paling banyak melaporkan gratifikasi tidak serta merta menjadikan institusi tersebut bebas dari korupsi. Akan tetapi, dengan memegang prinsip KPK sebagai lembaga independen negara, pemenang bukan berarti institusi ini bebas korupsi, namun jika seseorang atau institusi itu sendiri terlibat dalam kasus korupsi maka juga akan secara tegas akan ditindak.
Giri Suprapdiono menjelaskan, dalam hal kelembagaan, DPR menjadi lembaga yang paling banyak melaporkan gratifikasi. Disusul oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Pendidikan Nasional. Sementara pemerintah provinsi yang patuh melaporkan gratifikasi adalah DKI Jakarta dan Jawa Tengah. BUMN dengan total laporan gratifikasi terbanyak adalan Bank Jabar Banten.
Dalam teori Imam as-Syafi’i, manusia digolongkan menjadi empat. Yaitu, Man yadri innahu yadri, Man yadri innahu layadri, Man layadri innahu la yadri, dan Man la yadri innahu la yadri. Dalam konteks ini menunjukkan bahwa, orang yang tahu bahwa sesungguhnya dirinya tahu akan tetapi orang yang tersebut tidak memberi tahu kepada orang yang membutuhkan maka golongan orang sangat zalim. Sebab pada hakikatnya orang yang Man yadri innahu yadri wajib hukumnya memberi tahu kepada orang yang membutuhkan.Oleh karenanya, jika sudah mengerti seperti halnya teori yang telah dipaparkan oleh as-Syafi’i, maka langkah selanjutnya juga harus bisa mengimplementasikannya. Wallahu a’lam bi al-Shawab
Penulis adalah peneliti di Monash Institute dan Aktivis HMI IAIN Walisongo, Semarang

Next > |
---|