Haluan Riau

Sunday, Dec 15th

Last update04:07:02 AM GMT

You are here: NEWS GAGASAN Mendudukkan Peran Sejati Perempuan

Mendudukkan Peran Sejati Perempuan

Para aktivis perempuan dari organisasi-organisasi perempuan dunia menganggap bahwa persoalan perempuan di sektor domestik timbul karena secara ekonomi perempuan dalam posisi lemah. Mereka menganggap jika secara ekonomi seorang perempuan tergantung kepada suaminya, maka ketika menerima kekerasan atau perlakuan yang dirasakan tidak sebagaimana mestinya dari suaminya, perempuan tidak berani bereaksi atau bertindak lantaran takut kehilangan suami yang menjadi tumpuan hidupnya secara ekonomi. Oleh sebab itu, kaum perempuan dituntut memiliki kemandirian ekonomi. Caranya, dengan bekerja memasuki sektor publik. Perempuan yang hanya berkutat di sektor domestik dianggap sudah bukan masanya lagi karena dinilai hanya akan melanggengkan ketertindasan perempuan di bawah laki-laki.
Tetapi, di sektor publik, lagi-lagi perempuan dililit dengan persoalan baru. Perempuan menjumpai kenyataan bahwa tingkat pendidikan dan keterampilannya masih sangat rendah. Ini mendorong sebagian perempuan menempuh jalan pintas atau nrimo bekerja di bidang yang tidak terlalu menuntut kemampuan ilmu dan ketrampilan, kendati harus menghadapi risiko dijadikan proyek seks. Sementara mereka yang sudah memasuki dunia kerja ternyata juga menghadapi kenyataan yang tidak mengenakkan. Gaji yang diterima kadang tidak sama dengan yang diterima rekan kerja laki-laki kendati kedudukan dan pekerjaannya sama. Belum lagi, pelecehan seksual yang acapkali mereka terima di lingkungan kerja atau kekerasan di tengah masyarakat.
Ironisnya, jalan yang ditempuh perempuan untuk keluar dari persoalan di sektor domestik dengan terjun ke sektor publik, ternyata mengundang persoalan baru. Persoalan ini berkembang saling kait-mengkait dan demikian sulit diurai. Akhirnya, mereka melihat bahwa penanganan persoalan perempuan sudah tidak bisa lagi ditempuh dengan pendekatan individual. Artinya, mereka melihat persoalan perempuan ternyata berpangkal pada problematika di tingkat pengambilan kebijakan (birokrasi) dan penentu undang-undang (parlemen).
Dari sini tampak bahwa dalam melihat persoalan perempuan, sebagian besar orang masih menggunakan kaca mata subyektif. Perempuan memandang persoalan kaumnya dari sudut pandang keperempuanannya, sedangkan laki-laki memandang perempuan dengan tolok ukur kelelakiannya. Intinya masing-masing memandang perempuan hanya sebagai 'perempuan' tanpa melihat segi 'kemanusiaan universal perempuan'.
Sebenarnya masalah perempuan tidaklah terpisah dari masalah manusia pada umumnya. Suatu contoh kasus di banyak negara maju, kerusakan keluarga akibat perceraian semakin meningkat. Perempuan-perempuan karir yang secara finansial mandiri, memandang pernikahan sebagai penghalang kemandirian dan belenggu kebebasan. Mereka ingin hidup bebas dan lepas dari tanggung jawab kerumahtanggaan. Akhirnya perpecahan keluarga tidak terhindarkan dan hancurlah institusi keluarga. Sampai di sini, bukan hanya perempuan yang menanggung persoalan, namun juga anak-anak dan juga suami turut menjadi korban.
Dari sini tampak bahwa penting untuk membangun perspektif yang shahih dalam memandang persoalan kekerasan terhadap perempuan. Karena jika ditelisik secara lebih dalam, ramainya kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan, sesungguhnya bukan akibat dari peletakan posisi laki-laki dan wanita dalam kehidupan, melainkan itu merupakan buah dari produk sistem demokrasi-kapitalistik yang merestui berbagai tindak kebebasan (liberal), baik kebebasan berpikir, maupun kebebasan berekspresi, bertindak, bersikap, dan berperilaku.
Ini penting untuk didudukkan persoalannya agar tidak ada salah kaprah dalam memandang persoalan yang berakibat pada salah kaprah pula dalam mengambil solusi. Karena sesungguhnya dalam kehidupan ini, Sang Maha Pencipta telah menciptakan laki-laki dan wanita sebagai insan yang berpasangan untuk saling tolong-menolong dalam melakukan kebaikan. Sang Khaliq juga telah memberikan posisi yang tepat untuk laki-laki dan posisi yang tepat pula untuk wanita. Tidak ada yang lebih diistimewakan. Masing-masing diberikan porsi peran/tugas yang saling mendukung, bukan saling menindas.
Contoh dalam kehidupan rumah tangga, peran utama perempuan adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, termasuk sebagai manajer rumah tangga, serta pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Sementara suami diperankan sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab atas nafkah keluarga. Jika masing-masing peran ini dimainkan dengan baik oleh wanita dan juga laki-laki, maka sesungguhnya tidak diperlukan upaya-upaya kesetaraan gender, kemandirian ekonomi wanita, termasuk upaya untuk menuntut status wanita. Karena toh semuanya sudah jelas posisi, peran, dan tugasnya dalam kehidupan ini. Upaya-upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender malah akan mengaburkan posisi wanita dari perannya dalam kehidupan.
Upaya yang justru diperlukan saat ini adalah bagaimana mengembalikan perspektif masyarakat akan peran laki-laki dan wanita dalam kehidupan. Sebagai sebuah bangsa yang percaya akan arti pentingnya pembangunan keluarga, kita mesti hati-hati jika arah gerakan untuk mewujudkan kesetaraan jender itu pada akhirnya harus mengorbankan peran sejati kaum perempuan sebagai pengasuh dan pendidik utama anak. (sko)

Penulis adalah alumnus Pascasarjana Fakultas Ekologi Manusia IPB.

AddThis Social Bookmark Button

Add comment


Security code
Refresh