Pemilu berkualitas pada dasarnya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi proses dan hasilnya. Dari sisi proses, pemilu dikatakan berkualitas jika berlangsung secara demokratis, aman , tertib dan lancar serta jujur dan adil. Jika di lihat dari sisi hasil, Pemilu yang berkualitas harus dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat dan pemimpin negara yang mampu mensejahterakan rakyat, disamping itu dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia international, atau dengan kata lain di dapatnya pemimpin yang mampu mewujudkan cita-cita nasional.
Ini sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia yang berbunyi: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial."
Setelah lebih dari dua tahun kita memiliki wakil rakyat serta Presiden dan Wakil Presiden dari hasil Pemilu 2009. Kita mendapatkan banyak informasi tentang ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja DPR serta Presiden dan Wakil Presiden.
Setidaknya. dari beberapa survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei berlabel nasional, menunjukan adanya penurunan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan anggota DPR-RI. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah didominiasi oleh ketidakmampuan pemerintah menyelesaikan kasus-kasus korupsi serta tidak terealisasinya program peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Sedangkan ketidakpuasan masyarakat kepada anggota DPR adalah banyaknya anggota DPR yang terkena kasus korupsi, rendahnya capaian produk legilasi dan prilaku anggota DPR yang hedonis, serta pamer kekayaan. Persoalan ini tentunya tidak terlepas kualitas Pemilu yang tidak sekedar menginginkan proses, tetapi bagaimana hasil dari Pemilu yang pada saat ini kita telah merasakannya.
Permasalahan Pemilu PPS tidak meng-up date data pemilih yang di berikan RT/RW. Sebagaimana yang kita ketahui tentang adanya kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pemilu 2009, sebenarnya, salah satu faktor penyebabnya adalah ketidakseriusan petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) meng-up date data yang sudah diberikan oleh pihak RT/RW kepada PPS. KPU yang mendapatkan data dari Distarduk merupakan data mentah yang di dalamnya bisa jadi memuat banyak nama yang sebahagiannya adalah tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Misalnya, ada nama yang sudah meninggal masih tercantum, nama yang sudah menjadi anggota TNI masih muncul, atau yang belum Tujuh Belas Tahun ada dalam tabel tersebut. Kemudian, bisa jadi yang sudah 17 tahun atau sudah menikah namanya tidak keluar dalam data tersebut. Bahkan ada yang namanya muncul secara berulang-ulang dengan alamat dan nomor induk kependudukan yang sama.
Inilah yang harusnya diverifikasi oleh pihak PPS dengan bekerja sama dengan ketua RT/RW setempat. Barangkali, karena honor yang sedikit dan belum di bayar selama tiga bulan, ditambah petugas PPS yang usianya sudah senja, membuat salah satu tugas penting PPS meng up date data pemilih ini tidak dapat di kerjakan dengan optimal. Sehingga, data yang datang dari Distarduk ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), kemudian berubah menjadi Daftar Pemilih Sementara (DPS), sampai akhirnya menjadi DPT tidak mengalami perubahan. Jadilah DPT itu Daftar Pemilih Telah kacau.
Ke depan kita berharap KPU dapat merekrut PPS yang lebih energik, masih muda, punya tanggung jawab kerja yang baik, serta memahami kerja-kerja teknis dan kwantitatif.
Tak Netral Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sebagai penyelenggara Pemilu di tingkat paling bawah, sebenarnya menjadi perintis dalam menghadirkan pelaksanaan Pemilu yang luber dan jurdil. Namun di lapangan kita masih melihat adanya sebahagian petugas KPPS yang tidak netral dalam menjalankan tugas Negara yang di berikan kepada nya.
Contoh, petugas KPPS tidak memberikan undangan memilih kepada orang yang di indikasikan akan memilih partai atau Caleg tertentu. Kemudian, Petugas KPPS memberikan undangan memilih sekaligus menitipkan kartu nama Caleg atau iming-iming tertentu kepada calon pemilih. Ada lagi, petugas KPPS yang terindikasi sebagai tim Sukes Caleg tertentu memberikan undangan sisa,kepada orang yang tidak ber hak atas undangan tersebut, kemudian meminta orang tersebut memilih partai atau Caleg tertentu.
Sedangkan pelanggaran lain yang paling sering dilakukan KPPS pada saat pelaksanaan pemungutan suara adalah; Pertama, petugas KPPS tidak memberikan form C 1 dan lampirannya kepada saksi partai, sehingga ketika terjadi rekapitulasi di PPK. Saksi partai tidak memiliki data pembanding. Inilah yang membuat penggelembungan atau pengurangan suara terjadi di PPK.
Sebenarnya, kasus penggelembungan suara tidak akan mungkin bisa terjadi jika saksi memiliki form C 1 dan lampiran yang datangnya dari petugas KPPS. Kasus tidak diberikannya saksi form C 1 oleh KPPS sebenarnya juga dapat diantisipasi dengan ditempelkannnya lampiran form C 1 yang memuat hasil perolehan suara partai dan Caleg di TPS tersebut di tempat-tempat yang mudah di akses publik.
Namun sayang, sebahagian besar petugas KPPS/PPS tidak menempelkannya. Bahkan ada KPPS yang tidak mengerti bagaimana mengisi form C 1 tersebut.
Tak Bertaring Jika Panwas dapat bekerja dengan baik, sebenarnya dapat menetralisir seluruh pelanggaran-pelanggaran Pemilu yang terjadi. Namun sayang, Panwas seperti macan yang gigi taringnya hanya ada di salah satu gerahamnya saja. Tajam untuk kasus tertentu yang dapat mengangkat populeritasnya, dan tak tergigit untuk kasus-kasus lain yang sebenarnya harus di ungkap secara lebih lebih maksimal. Banyak kasus seperti bag-bagi duit, bagi-bagi beras, bagi-bagi jilbab, bagi-bagi semen, dan bagi-bagi lain yang sudah sangat jelas sebagai bentuk pelanggaran dalam berkampanye ternyata hanya selesai setelah Panwas berstatemen di media, banyak yang tidak jelas follow up nya. Apakah karena kewenangan dan anggaran Panwas yang masih terbatas atau karena masih bermainnya logika pramatis pada mentalitas Panwas, yang jelas masyarakat mencatat bahwa Panwas belum bekerja sesuai dengan apa yang menjadi harapan masyarakat.
Sebagai saksi pada saat rekapitulasi di KPU Pekanbaru, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana sinyal-sinyal permainan petugas PPK dengan para Caleg terjadi. Misal, ada PPK yang membacakan perolehan suara tidak sama dengan hasil rekapitulasi yang sudah di berikan kepada saksi di kecamatan. Jika saksi tidak jeli, maka bisa berkuranglah suara calon anggota legislatif (caleg) tertentu. Keterlambatan rekapitulasi di tingkat kecamatan juga diindikasikan ada tarik-menarik antara petugas PPK dengan para Caleg yang sudah membayar untuk dapat suara haram di PPK. Bukti itu semakin jelas ketika ada satu PPK yang rekapitulasinya bermasalah, yang mana angka-angka penjumlahannya pada tidak cocok, dan tulisan angkanya penuh dengan tanda-tanda perbaikan.
Saya meyakini, jikalau saksi punya C1, bisa dipastikan rekap seperti itu akan membuat petugas PPK masuk penjara.
Ke Depan Kita harus akui bahwa sukses tidaknya Pemilu sangat tergantung kepada profesionalisme KPU dan jajaran di bawahnya, sportivitas dan komitmen mengikuti aturan main bagi kontestan pemilu. Panwas yang bertaring, adil dan bekerja dengan sungguh-sungguh menjadi catatan kita semua.
Parpol sebagai konstentan dalam pemilu diminta untuk mampu merekrut Caleg yang berkualitas dari sisi kapasitas spiritual, intelektual dan emosional. Parpol juga harus memberikan pendidikan politik bagi masyarakat, yang dilakukan sejak awal, agar masyarakat dapat memilih dengan cara-cara yang rasional, bukan karena uang Rp50 ribu.
Regulasi tentang pemilu harus diperbaiki, terutama hal-hal yang terkait dengan jumlah peserta pemilu, parlimentery threshold, sumbangan dana partai serta pengkajian secara lebih mendalam apakah sistem suara terbanyak masih baik diterapkan. Kenyataannya, sistem suara terbanyak akan merusak sistem kaderisasi partai, serta wakil rakyat didominasi oleh orang yang memiliki modal yang kuat dan sebelumnya berprofesi sebagai selibritis.
Ke depan, semoga semua elemen yang terlibat dalam aktivitas pemilu ini dapat mengambil pelajaran. Itu agar pemilu dapat berkualitas dan demokrasi di negeri ini menjadi lebih baik. Bukankah pemilu yang berkualitas akan berbanding lurus dengan pemimpin yang dihasilkannya?

Next > |
---|