Oleh : Agusyanto Bakar - Kabag Perekonomian Pemkab Meranti
Bagi kita yang mau menggunakan kejernihan hati nurani dan kecerdasan berfikir, sudah barang tentu memanfaatkan ibadah puasa di bulan Ramadan ini sebagai media dalam melatih dan mengendalikan hawa nafsu, mengolah rohani agar dapat kembali ke kefitrian, kembali ke kesucian sejati.
Kembalinya kualitas kehidupan orisinil manusia yang suci seperti keadaan semula sebagaimana pertama kali kita di lahirkan. Rasulullah pernah mengungkapkan :" Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadan dan beribadah di malam harinya karena iman dan mengharap rida Allah maka keluarlah ia dari dosa-dosa sebagaimana seorang bayi yang baru keluar dan rahim sang ibu" (HR Ibnu Majjah AlBaihaqi). Karena setiap bayi di lahirkan dalam keadaan suci (kullu mauludin yuladu'alal fitrah).
Tak pelak lagi, manusia pada hakikatnya adalah suci, steril dari dosa dan terbebas dari noda laksana bayi yang baru di lahirkan sebelum di ganggu oleh aneka kepentingan duniawi, sebelum di ganggu oleh nafsu kepentingan-kepentingan subjektif, sebelum dibikin melorot kekerendahan pada titik paling nadir dari tingkatan derajat kehidupan manusia. Manusia yang ingin kembali ke kefitrian dan ke kesucian sejati tentu saja serangkaian aktivitas kegiatan pelaksanaan ibadah puasa yang di laksanakan pada bulan ramadhan ini di lakukan tidak sekedar tak makan dan tidak minum. Tidak sekedar menggugurkan kewajiban sebagai seorang muslim tidak pula semata menunaikan rutinitas tahunan formalistik dan tak sekedar melaksanakan kewajiban seremonial tahunan. Bahkan tak sekedar di pentas sosial kan sebagai ritus, tidak pula sekedar demonstrasi syariat serta etalase show of force dari suatu kelompok kekuatan sejarah. Tapi ibadah puasa yang dilakukan tentu lebih luas, mendalam dan substansi dalam berbagai dimensi. Baik dimensi fisik, spiritualitas, dimensi mentalitas maupun dimensi intelektualitas.
Puasa dalam dimensi fisik (puasa dalam pengertian Alimsak ) yaitu puasa yang dilakukan dengan tidak makan, tidak minum dan tidak melakukan hubungan intim, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Tentu, manusia yang berpuasa akan menjadi lebih sensitif, empati dan solider terhadap sesama. Ia tidak melihat dunia luar dari dirinya sekedar dari sudut pandang apa yang akan di dapatkannya untuk menguntungkan dirinya semata. Inilah sesungguhnya merupakan puasa dalam dimensi spiritualitas (mengekang ego, memerdekakan jiwa dari keterikatan kehidupan duniawi).
Manusia yang berpuasa tidak akan pula mengeksploitasi, memanfaatkan, mengorbankan dan memangsa orang lan untuk sekedar memuaskan dirinya sendiri. Paling tidak, ada empat penjara (ego, masyarakat, sejarah dan alam) yang akan mengukung diri manusia. Namun, di antara empat penjara yang mengukung diri manusia itu maka perjuangan melawan ego lah yang paling berat dalam perjuangan hidup seorang anak manusia, kata Ali Shariati.
Manusia memang memiliki kemampuan untuk membebaskan diri dari kungkungan alam, sejarah maupun kungkungan masyarakat. Tapi manusia sering kali gagal tak kala berhadapan dengan musuh yang paling besar dan paling berbahaya yang justru datang dari dalam dirinya sendiri : Hawa nafsu !
Tak berlebihan kalau Rasulullah mengatakan, hal yang paling ku takutkan kepada umatku adalah mengumbar nafsu dan melamun panjang (HR. Hakim dan Dailamy). Betapa tidak, mengumbar nafsu hanya akan memalingkan manusia dari AL-Haq, melamun panjang membuat orang lupa pada akhirat dan melawan nafsu adalah modal utama dari pelaksanaan ibadah, termasuk pelaksanaan ibadah puasa.
Puasa dalam dimensi mentalitas (istiqamah, tawakal dan sabar) adalah menjaga diri untuk selalu bersikap teguh, kukuh dan konsisten dengan aneka macam ketentuan dan hak prerogatif Allah ( sabar). Mentalitas orang yang berpuasa adalah mentalitas orang yang telah tertanamnya akar Istiqomah, tawakal, sabar, tidak akan mudah tergesa-tak sabar, tidak 'terbius' oleh sifat ambisius Krasak-krusuk dalam mengejar kenikmatan kehidupan duniawi, baik dalam hal kepemilikan ekonomi, kekuasaan politik dan kebesaran budaya. Tidak pula mudah terpasung oleh kelemahan diri yang kerap menyeret kehidupan kita dalam kerakusan tak berkesudahan yang terkadang malah kita lakoni dengan menghalalkan berbagai macam cara tanpa peduli ada garis batas antara halal dan haram yang kita langgar.
Sedangkan berpuasa dalam dimensi intelektualitas (mengasah kecerdasan berfikir sehingga dalam hidup kita memiliki filter untuk memilih antara yang halal-haram dan lain sebagainya) adalah mengasah kecerdasan berfikir sehingga dalam menjalani hidup dengan penuh konsekuen, ada filter yang secara objektif-rasional ketika kita berhadapan dengan pilihan hidup : antara yang boleh dan tidak boleh, antara yang halal dan haram. Tak pelak lagi, intelektualitas sejatinya merupakan tugas fungsi dalam sistem olah kejiwaan dan perilaku.
Karenanya, jika intelektualitas seseorang diolah dalam artian mengasah kecerdasannya, maka produk dari itu semua bukan hanya menyangkut dengan kepintaran dan kecerdasan semata, tapi juga mengandung efek terhadap moralitas dan mentalitas pelakunya. Dengan demikian, orang yang memiliki keberanian spiritualitas dan mentalitas sejatinya harus pula diikuti dengan keberanian intelektualitas untuk teguh kembali pada khittah teologis : Inna Lillahi, segala sesuatu yang ada milikNya, wa Inna ilaihi rajiun dan mutlak pasti kembal kepadaNya. Karena puasa kata budayawan Emha Ainun Nadjib (2005) adalah merupakan ilmu mati. Manusia yang berpuasa akan belajar menyortir dan memfilter segala sesuatunya dalam hidup : mana yang sejati, mana yang ilusi, mana yang abadi, mana yang semu, mana yang temporer-permanent dan mana pula yang bisa di bawa kekekalan serta mana yang harus Ia tinggalkan ketika nyawa berpisah daria badan.
Kita semua tentu tidak ingin masuk dalam kelompok orang-orang yang pernah di ungkapkan oleh Rasulullah : "kam min shaa imin laisa min shiyaamihi illal 'ath-sya wal juu'a". (banyak orang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga). Semoga!

Next > |
---|