There was a problem loading image /home/haluanri/public_html/images/stories/120721/04-210712-opini-copy.gif
There was a problem loading image /home/haluanri/public_html/images/stories/120721/04-210712-opini-copy.gif
Dengan semakin maraknya pertumbuhan pusat perbelanjaan modern di perkotaan, tidak terkecuali di Bumi Lancang Kuning, patut bagi kita untuk mempertanyakan sampai kapan kiranya nasib pasar-pasar tradisonal dan kedai kelontong yang masih tersisa? Secara perlahan dan pasti, pasar modern atau ritel, baik yang dimiliki dan dikelola lokal-nasional maupun pemain global, mengambilalih keberadaan pasar tradisional dan kedai kelontong. Di Kota Pekanbaru misalnya, beberapa pasar tradisional seperti Pasar Kodim (Senapelan), Pasar Pusat telah berganti dengan pasar modern yang dikenal dengan plaza, mal atau supermarket. Pasar Pagi Cik Puan di Jalan Tuanku Tambusai mungkin tinggal menunggu waktu untuk segera berganti baju dengan pusat perbelanjaan modern.
Selain tukar ganti dari pasar tradisional menjadi pasar modern, pembangunan pusat-pusat perbelanjaan modern baru yang terus bertambah dari tahun ke tahun, telah mendesak dan memengaruhi keberadaan pasar-pasar tradisonal yang ada. Kini, di Kota Pekanbaru terdapat sekitar sembilan buah pusat perbelanjaan modern, yaitu: Citra Plaza, Senapelan Plaza, Ramayana, Pekanbaru Mall, Ciputra Seraya Mall, Simpang Komersial Arengka (SKA) Mall, Lotte Mart, Giant dan Robinson
Jumlah ini akan membengkak jika ditambahkan minimarket yang semakin mengepung Kota Pekanbaru. Dan jika ini dibiarkan terus, maka jumlahnya akan semakin merajai wajah kota. Apalagi jika sudah masuk rangkaian minimarket berjaringan nasional atau global, maka nasib pasar tradisonal dan kedai kelontong mungkin akan semakin tergadai.
Perlu Peraturan dan Pengawasan Ketat Tuntutan kehidupan modern dan masuknya Indonesia dalam sistem ekonomi terbuka sejak tahun 1980-an, maka keberadaan pasar modern adalah suatu keniscayaan. Namun, bagaimana pun supaya keberadaan pasar tradisonal dan kedai kelontong tetap terjaga dan sekaligus memberikan ruang kepada seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi, perlu dibuat peraturan dan pengawasan ketat.
Jika tidak, maka hukum rimba gaya baru dengan nama globalisasi, liberalisasi dan demokratisasi akan semakin memberikan keistimewaan kepada pihak yang menguasai ilmu dan teknologi, modal, manajemen dan pemasaran sebagai perwakilan masyarakat modern. Sementara masyarakat kecil yang identik dengan masyarakat tradisional semakin terpinggir dan dipinggirkan dalam arus perdana pembangunan.
Yang kuat menginjak-injak yang lemah, yang pintar memperbudak yang bodoh dan yang kaya menghisap yang miskin. Bahkan sekarang, minimarket sudah masuk ke kampung-kampung. Apakah pemiliknya masih orang kampung atau pemodal dari luar? Mungkin, sudah tiba waktunya orang miskin membeli permen, kerupuk, sabun, pasta gigi, bahkan lepat, bakwan, goreng pisang kepada orang kaya. Orang miskin memperkaya orang kaya, sementara yang miskin semakin terjepit dan tertekan.
Untuk mencegah berlakunya kembali hukum rimba yang menjelma dengan gaya baru, maka pemerintah yang nota bene telah diberikan wewenang, tanggung jawab, tenaga pegawai dan dukungan finansial harus berada di garda terdepan di dalam memastikan adanya keseimbangan dan keharmonisan di antara seluruh kelompok masyarakat, termasuk di dalam aktivitas ekonomi.
Prinsip kebebasan yang bertanggungjawab dan berkeadilan harus dijunjung tinggi, dalam teori dan praktik. Dalam konteks ini, perlindungan terhadap keberadaan pasar tradisisonal dan kedai-kedai kelontong harus diberikan perhatian. Jika tidak, maka pasar tradisional dan kedai-kedai kelontong yang dilakoni dan dikelola oleh masyarkat kelas bawah yang minim modal, manajemen dan jaringan pemasaran tidak akan dapat bersaing dengan keberadan pasar modern dan minimarket yang lebih unggul dari segala-galanya.
Pengelolaan Pasar Modern Pemberian izin pasar modern harus dilakukan secara hati-hati dan mempertimbangkan dampak jangka panjang dari aspek sosial-ekonomi dan lingkungan, khususnya bagi aktivitas ekonomi tradisional. Untuk itu, perlu payung hukum dalam bentuk peraturan daerah (perda) tentang perizinan dan pengelolaan pasar modern, yang meliputi: jarak lokasi pasar modern dan pasar tradisional, jumlah pasar modern, waktu operasi, penentuan zonasi, serta pola kemitraan.
Penentuan jarak lokasi antara pasar modern dengan pasar tradisonal perlu ditetapkan. Di beberapa kota ditetapkan bahwa jaraknya dengan pasar tradisonal terdekat adalah 500 meter. Pengaturan jarak antara sesama pasar modern khususnya minimarket berjaringan juga harus diatur. Kini, jamak ditemui minimarket yang bertumpuk-tumpuk dalam jarak berdekatan. Jika ini terus dibiarkan, bagaimana nasib kedai-kedai kelontong dan toko-toko tradisonal? Secara perlahan kedai-kedai tersebut akan hilang satu-persatu seiring dengan semakin merosotnya jual beli.
Penentuan jarak ini pada beberapa kota juga kurang efektif di dalam melindungi pasar tradisional dan kedai kelontong, dimana sebagian besar konsumen juga berpindah ke pasar modern yang jumlahnya semakin banyak. Oleh karena itu, selain jarak, perlu juga pembatasan jumlah pasar modern atau mini market untuk sesuatu kawasan. Di beberapa daerah di Pulau Jawa telah dikeluarkan Perda yang membatasi hanya dibolehkan dua minimarket dalam satu kecamatan. Bahkan untuk tingkat desa, tidak lagi memberikan izin pendirian minimarket berbasis waralaba besar.
Menarik untuk mencermati kebijakan yang diterapkan Pemerintah Kota Bukit Tinggi, Sumatera Barat yang membatasi pembangunan pasar modern. Selain untuk melindungi pelaku ekonomi tradisonal, tetapi juga yang terpenting adalah untuk menjaga dan melestarikan jiwa wirausaha (entrepreneur) warga masyarakat, yang biasanya bermula dari kedai-kedai kelontong dan pasar tradisional. Jiwa entrepreneur dapat dilatih, diajarkan dan diasah dari sana.
Waktu operasi pasar modern dan minimarket juga perlu dibuat aturan yang jelas, dari jam berapa sampai jam berapa dibenarkan beroperasi. Jika tidak ada aturan, dikhawatirkan serbuan minimarket berjaringan nasional dan global. Beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Bali sudah merasakan dampak negatif minimarket berjaringan seperti Indomaret, Alfa Ekspress atau Circle K, yang beroperasi 24 jam terhadap kedai-kedai kelontong dan pasar tradisional. Belajar dari pengalaman kota-kota tersbut, ada baiknya di Riau dibuat aturan untuk mengantisipasi dampak yang tidak diinginkan.
Penentuan zonasi adalah hal lain yang tidak dapat diabaikan. Untuk pasar modern atau ritel skala besar, dengan jual beli secara eceran dan borong (grosir) harus berada di zona luar kota. Secara teori memang begitu, di dalam menjaga dan melindungi pasar tradisional. Logikanya, dengan jaraknya yang cukup jauh, maka yang berbelanja ke sana juga adalah warga kelas menengah ke atas saja, yang nota bene harus punya kendaraan pribadi (mobil). Coba perhatikan bagaimana dengan yang ada di Kota Pekanbaru?
Sebagai pelengkap, juga rasanya perlu ada kemitraan antara pelaku usaha tradisonal dengan pelaku pasar modern, sehingga keberadaannya dapat untuk saling membantu dan melengkapi. Ada sinergi yang mantap. Hubungannya adalah simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. Hubungan kemitraan hakiki, ada kesejajaran yang saling membutuhkan, menghargai dan menguntungkan. Walllahu a’lam.
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota,
Fakultas Teknik Universitas Islam Riau Pekanbaru
Next > |
---|