Haluan Riau

Friday, Nov 02nd

Last update08:04:06 PM GMT

You are here: NEWS GAGASAN Nasib Pasar Tradisional dan Kedai Kelontong

Nasib Pasar Tradisional dan Kedai Kelontong

Multithumb found errors on this page:

There was a problem loading image /home/haluanri/public_html/images/stories/120721/04-210712-opini-copy.gif
There was a problem loading image /home/haluanri/public_html/images/stories/120721/04-210712-opini-copy.gif

Dengan semakin maraknya pertumbuhan pusat perbelanjaan modern di perkotaan, tidak terkecuali di Bumi Lancang Kuning, patut  bagi kita untuk mempertanyakan sampai kapan  kiranya nasib pasar-pasar tradisonal  dan kedai kelontong yang masih tersisa? Secara perlahan dan pasti, pasar modern atau ritel, baik yang dimiliki dan dikelola lokal-nasional maupun  pemain global, mengambilalih  keberadaan pasar tradisional dan kedai kelontong. Di  Kota Pekanbaru misalnya, beberapa pasar tradisional  seperti  Pasar Kodim (Senapelan), Pasar Pusat  telah berganti dengan pasar modern  yang dikenal dengan plaza, mal atau supermarket.  Pasar Pagi Cik Puan di Jalan Tuanku Tambusai mungkin tinggal menunggu waktu  untuk segera  berganti baju dengan pusat perbelanjaan modern.

Selain  tukar ganti  dari pasar tradisional menjadi pasar modern,  pembangunan  pusat-pusat perbelanjaan modern  baru  yang terus bertambah  dari tahun ke tahun, telah  mendesak dan memengaruhi keberadaan pasar-pasar tradisonal yang  ada. Kini, di Kota Pekanbaru  terdapat sekitar sembilan  buah pusat perbelanjaan modern, yaitu:  Citra Plaza, Senapelan Plaza, Ramayana, Pekanbaru Mall, Ciputra Seraya Mall, Simpang Komersial Arengka (SKA) Mall, Lotte Mart,  Giant dan Robinson 
Jumlah ini akan membengkak jika ditambahkan  minimarket yang  semakin mengepung  Kota Pekanbaru. Dan jika ini dibiarkan terus, maka jumlahnya akan semakin merajai wajah kota. Apalagi jika sudah masuk  rangkaian minimarket berjaringan nasional atau global, maka nasib pasar tradisonal  dan kedai kelontong  mungkin akan  semakin  tergadai.

Perlu Peraturan dan Pengawasan  Ketat Tuntutan kehidupan modern dan masuknya Indonesia dalam sistem ekonomi terbuka sejak tahun 1980-an, maka keberadaan pasar modern adalah suatu keniscayaan. Namun, bagaimana pun  supaya keberadaan pasar tradisonal  dan kedai kelontong tetap terjaga dan sekaligus memberikan ruang kepada seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi, perlu dibuat peraturan dan  pengawasan ketat.
Jika tidak, maka hukum rimba  gaya baru dengan  nama globalisasi, liberalisasi dan demokratisasi akan semakin  memberikan keistimewaan  kepada pihak  yang menguasai  ilmu dan teknologi, modal, manajemen dan pemasaran sebagai perwakilan masyarakat modern. Sementara masyarakat kecil yang identik dengan  masyarakat  tradisional semakin terpinggir dan dipinggirkan dalam arus perdana pembangunan.

Yang kuat menginjak-injak yang lemah, yang  pintar memperbudak yang bodoh dan yang kaya menghisap yang miskin. Bahkan sekarang, minimarket sudah masuk ke kampung-kampung. Apakah pemiliknya masih orang kampung atau pemodal dari luar? Mungkin, sudah tiba waktunya  orang miskin membeli permen, kerupuk, sabun, pasta gigi,  bahkan  lepat, bakwan, goreng pisang  kepada orang kaya. Orang miskin memperkaya orang kaya, sementara yang miskin semakin terjepit dan tertekan.
Untuk mencegah  berlakunya kembali hukum rimba  yang menjelma dengan  gaya baru, maka pemerintah yang nota bene  telah diberikan wewenang, tanggung jawab,  tenaga  pegawai dan dukungan finansial  harus berada di garda terdepan di dalam memastikan adanya keseimbangan dan keharmonisan di antara seluruh kelompok masyarakat, termasuk di dalam aktivitas ekonomi.
Prinsip kebebasan yang bertanggungjawab dan berkeadilan harus dijunjung tinggi, dalam teori dan praktik.  Dalam konteks ini, perlindungan  terhadap keberadaan  pasar tradisisonal dan kedai-kedai kelontong   harus diberikan perhatian. Jika tidak, maka pasar tradisional dan kedai-kedai kelontong yang dilakoni dan dikelola oleh masyarkat kelas bawah yang minim modal, manajemen dan  jaringan pemasaran tidak akan dapat bersaing dengan  keberadan pasar modern dan minimarket  yang lebih unggul dari segala-galanya.


Pengelolaan  Pasar Modern Pemberian izin pasar modern harus dilakukan secara hati-hati dan  mempertimbangkan dampak jangka panjang dari aspek sosial-ekonomi dan lingkungan, khususnya bagi aktivitas ekonomi  tradisional. Untuk itu, perlu payung hukum dalam  bentuk peraturan daerah (perda) tentang perizinan dan pengelolaan pasar modern, yang meliputi:  jarak lokasi pasar  modern dan pasar tradisional, jumlah pasar modern, waktu operasi, penentuan zonasi,  serta pola kemitraan.

Penentuan jarak lokasi antara pasar modern  dengan pasar tradisonal perlu ditetapkan. Di beberapa kota ditetapkan bahwa jaraknya dengan pasar tradisonal terdekat adalah 500 meter. Pengaturan jarak  antara sesama pasar  modern  khususnya   minimarket berjaringan  juga  harus diatur. Kini, jamak ditemui minimarket  yang bertumpuk-tumpuk dalam jarak berdekatan. Jika ini terus dibiarkan, bagaimana nasib  kedai-kedai  kelontong dan toko-toko tradisonal?  Secara perlahan kedai-kedai tersebut akan hilang satu-persatu seiring dengan semakin merosotnya jual beli.

Penentuan jarak ini pada beberapa kota juga kurang efektif di dalam melindungi pasar tradisional dan kedai kelontong, dimana sebagian besar konsumen  juga berpindah ke pasar modern yang jumlahnya semakin banyak. Oleh karena itu, selain jarak, perlu juga pembatasan jumlah pasar modern atau mini market untuk sesuatu kawasan. Di beberapa daerah di Pulau Jawa telah dikeluarkan Perda yang membatasi hanya dibolehkan dua minimarket dalam satu kecamatan.  Bahkan untuk  tingkat desa, tidak  lagi memberikan izin pendirian minimarket  berbasis waralaba besar.

Menarik untuk mencermati kebijakan yang diterapkan  Pemerintah  Kota Bukit Tinggi, Sumatera Barat yang membatasi pembangunan pasar modern. Selain untuk melindungi pelaku ekonomi tradisonal, tetapi juga  yang terpenting adalah untuk menjaga dan melestarikan jiwa  wirausaha (entrepreneur)  warga masyarakat, yang biasanya bermula  dari kedai-kedai  kelontong dan pasar  tradisional.  Jiwa entrepreneur  dapat dilatih, diajarkan  dan diasah dari  sana.
Waktu operasi  pasar modern dan minimarket juga perlu dibuat aturan yang jelas, dari jam berapa sampai jam berapa dibenarkan beroperasi. Jika tidak ada   aturan, dikhawatirkan serbuan minimarket berjaringan  nasional dan global. Beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Bali sudah merasakan dampak negatif minimarket berjaringan seperti Indomaret, Alfa Ekspress atau Circle K, yang beroperasi 24 jam terhadap kedai-kedai kelontong dan  pasar  tradisional.  Belajar dari pengalaman kota-kota tersbut, ada baiknya di Riau dibuat aturan untuk mengantisipasi  dampak yang tidak diinginkan.
Penentuan zonasi  adalah hal lain yang tidak dapat diabaikan. Untuk pasar  modern atau ritel skala besar, dengan jual beli  secara eceran dan borong (grosir) harus  berada di zona luar kota. Secara teori memang begitu, di dalam menjaga dan melindungi pasar tradisional. Logikanya, dengan jaraknya yang cukup jauh, maka yang berbelanja ke sana juga adalah warga  kelas menengah ke atas saja, yang nota bene harus punya kendaraan pribadi (mobil). Coba perhatikan bagaimana dengan yang ada di Kota Pekanbaru?
Sebagai pelengkap, juga rasanya  perlu ada kemitraan antara pelaku usaha tradisonal dengan pelaku pasar modern, sehingga keberadaannya  dapat untuk saling membantu dan melengkapi.  Ada sinergi  yang mantap. Hubungannya adalah simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. Hubungan kemitraan hakiki, ada kesejajaran yang  saling  membutuhkan, menghargai dan menguntungkan.  Walllahu a’lam.

Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota,
Fakultas Teknik Universitas Islam Riau Pekanbaru

Add comment


Security code
Refresh