Haluan Riau

Tuesday, May 21st

Last update07:53:24 PM GMT

You are here: NEWS GAGASAN Puzzle Bernama Subsidi BBM

Puzzle Bernama Subsidi BBM

Kenaikan BBM bak dejavu di benak kita. Seperti tahun sebelumnya, repetisi peristiwa dan tak lupa alasan kenaikan beserta diselingi pro dan kontra secara sempurna berulang. Respon terakhir ini terbilang wajar. Karena BBM merupakan unsur penting daam kehidupan kita. Mengingat urgensinya, unsur ini bahkan disinggung dalam sebuah hadist bahwa “Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang, dan api” (HR Abu Dawud). 
Dalam perkembangannya, dikuatkan melalui pernyataan Komite Ekonomi Nasional (KEN) bulan Mei kemungkinan besar akan diberlakukan dua harga BBM bersubsidi. Dimana khusus mobil pribadi Rp.6.500-Rp.7.000, sedang angkutan umum, transportasi kebutuhan masyarakat serta roda dua tetap Rp.4.500.
Melihat bahasa kebijakan sejauh ini, mengendalikan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi memang selalu menjadi fokus pemerintah pusat. Meski opsi ke depan menggunakan dua harga, namun langkah pemerintah kali ini dinilai banyak pengamat belum menuju kepada opsi radikal atau berani.
Adil Setakad ini kebijakan pengendalian BBM subsidi, ditujukan agar yang tak berhak tidak menerimanya, dipandang belum memuaskan berbagai pihak. Jangan jauh-jauh. Karena ini terkait dampak yang ditimbulkannya. Di kalangan kami sendiri (dewan) misalnya. Pemberlakuan aturan yang melarang semua kendaraan pemerintah (plat merah), serta kendaraan BUMN dan BUMD untuk menggunakan BBM subsidi lewat tanda stiker “anti BBM subsidi”.
Memang diatur bahwa pengguna mobil dinas diberi kompensasi atas ketidakadaan BBM subsidi. Namun ternyata aturan itu tak mencakup semua pengguna mobil dinas. Mayoritas dewan yang terkategori anggota merogoh kocek sendiri untuk membeli BBM non subsidi. Beda dengan pejabat level tertentu yang mendapat kompensansi berupa biaya transportasi. Secara kinerja, ini berpengaruh terlebih yang mengandalkan kendaraan dalam menjalankan tugas fungsinya. Sedang secara struktural dirasa dianggap tidak berkeadilan.
Itu versi lebaynya. Belum melihat implikasinya. Dengan adanya pelarangan mobil dinas menggunakan BBM bersubsidi tak serta-merta problem solved. Sudah menjadi rahasia umum, celah dalam penerapannya kemudian dikonversi menjadi penyimpangan. Terus terang saja, ada pengguna mobil dinas mengakali aturan ini. Membeli di waktu tertentu (malam) dan tempat selain SPBU (eceran).    
Hal yang sama terjadi pada langkah lainnya. Lihat saja kelangkaan BBM jenis solar bersubsidi yang ditemui di beberapa titik di provinsi ini beberapa waktu belakangan. Banyaknya SPBU yang kehabisan stok solar membuat galau sejumlah pengusaha angkutan umum. Antrian di SPBU tak terelakkan, bahkan di lintas Duri-Dumai mencapai 40 Km. Versi lebih memprihatinkan, kendaraan besar industri seperti truk pengangkut kelapa sawit dan kendaraan operasional kontraktor Migas, mengantri solar subsidi. Sesuatu yang berdasarkan aturan sangat jelas dilarang.
Ketika ditindaklanjuti situasi ini pun dilematis. Seorang sopir kendaraan industri curhat bahwa mereka terpaksa menggunakan solar bersubsidi karena terbentur aturan dari kantor mereka. Dengan alasan bahwa semua pengeluaran bahan bakar akan di `reimburse` pihak kantor. Dan mereka khawatir bakal nombok kalau jumlahnya berlebih. Sedang di pihak SPBU tak kalah dilematis: kalau dilarang tidak bisa. Karena kalau diusir mereka justru pindah ke SPBU lain dan rela mengantre yang penting dapat harga lebih murah.
Tepat Langkah Kebijakan pemerintah pusat dalam menetapkan dua harga BBM bersubsidi tampaknya mencoba tetap bermain di zona aman. Meski secara empirik, dari pengalaman penetapan harga BBM subsidi, sudah banyak penyimpangan dan kekacauan yang terjadi di tengah masyarakat. Namun tetap saja bersikukuh dengan pendekatan sama.
Padahal di sini juga melibatkan dampak masif yang bakal dihadapi. Secara individu, justru lebih baik pemerintah pusat mengkaji penghapusan subsidi secara total atau menggunakan satu harga dari pada dua harga. Apalagi faktanya, saat krisis BBM yang terjadi beberapa waktu lalu, masyarakat toh masih mampu membeli BBM bahkan dengan harga Rp25.000 perliter di pasaran.
Di daerah pelosok, tak sedikit masyarakat yang terbiasa dengan harga BBM non subsidi, meski mereka ada yang lebih berhak menikmati subsidi). Berdasarkan ini, jika harganya disamakan entah itu Rp.6.500 atau dicabut total menjadi Rp.10.000, mungkin dirasa lebih baik dan adil.
Kebijakan BBM merupakan hal yang komprehensif. Ia juga bicara soal bagaimana mengetengahkan perilaku positif ke masyarakat. Semisal memanfaatkan energi secara tepat guna. Karena jika bicara utak-atik angka subsidi saja, kebutuhan BBM terutama yang bersubsidi menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Ahmad Farial semakin membingungkan. Karena selalu saja kurang meski sudah sesuai kuota.
Tengok kuota BBM subsidi Provinsi Riau tahun lalu. Untuk Januari-April pemakaian premium mencapai 269.579 KL atau lebih 40 ribu Kl dari target kuota 224.479 KL. Begitu juga dengan solar sudah habis 248.487 KL dari target kuota 222.876 KL. Laju konsumsi, baik itu disebabkan jumlah penambahan kendaraan dan penggunaan BBM bersubsidi oleh pihak yang menurut peraturan tak diperbolehkan, menjadikan BBM subsidi sudah habis sebelum akhir tahun.
Juga pikirkan bagaimana efek psikologis angka panjang dengan banyaknya tindakan mengakali harga BBM bersubsidi yang telah terjadi selama ini. Sehingga membuka pintu bagi banyak pihak dan oknum untuk menggunakan banyak cara meraup keuntungan dari disparitas harga BBM atau yang menggunakan BBM bersubsidi dengan alasan agar irit.
Ada baiknya pemerintah pusat lebih fokus dan memilih jalan yang tepat untuk repot dan tampil populis. Caranya dengan mengalihkan subsidi BBM ke sektor-sektor yang dianggap lebih prospektif meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penyiapan stok SDM berkualitas baik itu yang mendukung penguasaan industri Migas nasional sehingga bisa maksimal meraih keuntungan maupun keilmuwan lainnya, dan infrastruktur yang menyentuh lansung perekonomian mikro. Daripada bongkar pasang puzzle subsidi BBM, yang justru buat stres nasional. 
H. Indra Isnaini ST, Anggota DPRD Provinsi Riau

AddThis Social Bookmark Button

Add comment


Security code
Refresh