Haluan Riau

Friday, Oct 12th

Last update05:00:00 PM GMT

You are here: NEWS UTAMA Membela KPK, Membela Negara

Membela KPK, Membela Negara

Seorang negarawan Inggris, Lord Acton, dalam suratnya yang dikirimkan pada Uskup Mandell Creighton, 3 April 1887, menegaskan “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Ungkapan ini menjadi sangat terkenal karena benar-benar sesuai dengan fakta. Dimana ada kekuasaan di situlah terdapat kecenderungan korupsi, dan pada saat kekuasaan menjadi absolut, korupsi menjadi pasti.

Indonesia termasuk negara yang amat ringkih menghadapi korupsi, karena tradisi korupsi di negeri ini jauh lebih kuat dari upaya-upaya untuk menangkalnya. Sejak zaman raja-raja dengan kekuasaannya yang absolut, korupsi sudah berkembang dan menjadi bagian yang tak terpi-sahkan dari budaya Indonesia.

Karena itu tak salah jika Mochtar Loebis pernah mengatakan bahwa korupsi di negeri ini telah membudaya.

Sesuatu yang sudah membudaya tentu tak mudah untuk menghilangkannya. Apalagi, kekuasaan yang menjadi lahan subur korupsi, walaupun tidak selalu absolut, senantiasa ada di sekeliling kita dan acap kali tak terkontrol. Belum lagi, lembaga-lembaga negara yang secara resmi bertugas (antara lain) untuk memberantas korupsi seperti Kepolisian dan Kejaksaan justru berada di wilayah kekuasaan yang (cenderung) korupstif pula.

Karena Kepolisian dan Kejaksaan tak lagi bisa diandalkan untuk memberantas korupsi, sementara unsur-unsur inspektorat dan pengawasan yang ada di dalam setiap lembaga pun tak bisa berperan maksimal karena terkooptasi oleh kekuasaan yang ada dalam lembaga yang bersangkutan, maka diperlukan lahirnya lembaga anti korupsi yang independen dengan kewenangan yang maksimal.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan perwujudan dari lembaga anti korupsi yang dibutuhkan. Dengan independensi dan kewenangan yang dimilikinya, KPK mampu menyeret koruptor dengan nama-nama besar dari lembaga-lembaga tinggi negara yang sebelumnya tak tersentuh, termasuk dari jajaran petinggi Kepolisian dan Kejaksaan. Sederatan nama-nama bupati, walikota, gubernur,  para pejabat tinggi kementerian dan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dipaksa masuk penjara. Bahkan besan dan sahabat dekat presiden pun tak luput dari jeruji besi.

Tapi mungkin inilah yang disebut hukum alam, ada aksi ada reaksi. Setelah mendapatkan  pukulan bertubi-tubi dari KPK, barisan koruptor pun memukul balik. Dan para pemukul balik itu tampaknya paham betul dimana titik lemah KPK.  Pertama pada proses seleksi pimpinan yang harus melalui DPR; kedua pada aturan main menyangkut posisi dan kewenangan (perundang-undangan) yang juga harus melalui DPR; dan ketiga, pada infrastruktur dan sumberdaya manusia (SDM) yang juga tak lepas dari lembaga-lembaga lainnya.

Pada saat seleksi pimpinan, upaya pelemahan KPK sulit dilakukan karena melibatkan panitia seleksi dari tokoh-tokoh yang kredibilitasnya terjaga, dan pantauan langsung dari segenap pemerhati, aktivis anti korupsi, dan kalangan civil society. Pada aturan main, kini banyak kalangan, terutama anggota DPR, yang mengusulkan perubahan UU KPK yang dianggapnya masih belum sempurna. Di balik usulan ini ada dugaan kuat, kewenangan-kewenangan KPK mau dipereteli. Hingga kini, wacana perubahan UU KPK ini masih terus berjalan. Para pengusulnya mendapatkan perlawanan dari para aktivis, akademisi, dan civil society.

Seraya berupaya mengubah UU KPK, titik lemah lain, infrastruktur dan SDM pun  mulai dihantam. Sementara kebutuhan gedung baru mendapat hambatan dari DPR dan dilawan oleh publik dengan gerakan pengumpulan koin, dari segi SDM, para penyidik yang menjadi ujung tombak langkah-langkah KPK sebagian ditarik oleh induknya, yakni Kepolisian. Bahkan salah satu penyidik terbaiknya, Komisaris Polisi Novel Baswedan, akan ditangkap atas tuduhan pembunuhan yang diduga melibatkannya pada tahun 2004. Walau tuduhan ini sudah dibantah dan kasusnya sudah dianggap selesai, para petinggi Polri tetap akan memenjarakan Novel yang juga cucu pahlawan nasional, AR Baswedan.

Melihat posisinya ibarat cicak melawan buaya (jilid kedua), publik pun terpanggil untuk membela KPK dengan menggalang kekuatan dari berbagai kalangan, dan dengan semua langkah yang mungkin bisa dilakukan. Saya kira, bagi siapa pun yang peduli dengan kelangsungan hidup bangsa ini, membela KPK menjadi kewajiban, karena membela KPK sama artinya dengan membela negara dari rongrongan para koruptor. (Jeffrie Geovanie)

Add comment


Security code
Refresh