Oleh : Drs H Ahmad Supardi Hasibuan, MA - Kakan Kemenag Rohul
Hari Raya Idul Fitri adalah hari kemenangan bagi umat Islam, yang telah dengan sukses berperang melawan hawa nafsu selama satu bulan penuh, yaitu dengan melaksanakan ibadah puasa Ramadhan sesuai dengan perintah Allah SWT dalam Alquran: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertakwa” (QS Albaqarah, 183).
Melawan hawa nafsu, sebagaimana disebutkan dalam salah satu hadis Rasulullah SAW sebagai sebuah perang besar, melebihi dahsyatnya Perang Badar.
Idul Fitri secara harfiah adalah kembali kepada fitrah, yaitu kesucian sebagaimana digambarkan dalam salah satu hadis Nabi: “Barang siapa yang melaksanakan ibadah puasa Ramadan dengan iman dan mengharap ridha Allah SWT, maka diampunkan segala dosanya yang telah lalu, sehingga ia menjadi orang sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya”. Bersih dari noda dan dosa seperti halnya kertas putih kosong yang belum tersentuh dan ternoda oleh sesuatu apapun juga.
Insan Baru
Ibadah puasa Ramadan yang dilaksanakan selama satu bulan penuh, secara teoritis, telah membawa umat Islam mencapai derajat tertinggi di sisi Allah SWT yaitu predikat taqwa. Taqwa dijadikan sebagai tolok ukur kemuliaan seseorang di sisi Allah SWT. Sebagaimana firman Allah: "Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling tinggi derajat ketaqwaannya.
Taqwa oleh para ulama didefenisikan dengan “Melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangannya”. Dengan demikian, predikat taqwa telah mengantarkan seseorang kepada ketundukan dan kepatuhan tertinggi kepada Allah SWT, yang dibuktikan secara aktif dalam bentuk tindakan nyata.
Puasa sebenarnya adalah ibadah kuno yang telah disyari’atkan kepada umat manusia, jauh sebelum kedatangan Muhammad SAW. Ada yang mengatakan pensyari’atannya sejak Nabi Ibrahim AS dan ada yang berpendapat justru lebih jauh dari itu, yaitu sejak Nabi Adam AS. Berbeda dengan ibadah salat, yang disyari’atkan justru setelah Nabi Muhammad SAW melaksanakan Isra’ Mi’raj. Kalaupun ada salat sebelum peristiwa Isra’ Mi’raj, itu bentuknya adalah zikir dan tahannuts (menyendiri dan merenung) yang dilakukan Nabi di Gua Hiro.
Berbeda dengan ibadah puasa, dimana bentuk dan tata caranya, dari dulu sampai sekarang adalah sama. Hal ini menunjukkan bahwa puasa adalah kebutuhan setiap umat manusia, dari dulu sampai sekarang dan bahkan sampai pada masa yang akan datang. Hal ini juga dibuktikan dengan setiap orang yang akan diambil sampel darahnya, pasti terlebih dahulu disuruh berpuasa antara 9 sampai dengan 10 jam, sebab orang yang berpuasa darahnya stabil, tidak naik turun, sehingga dapat diukur secara akurat. Puasa selain dilaksanakan oleh umat manusia, juga dilaksanakan oleh makhluk Tuhan lainnya seperti binatang. Sebagai contoh, induk ayam melaksanakan puasa selama mengerami telurnya. Dengan puasanya itu, memudahkan baginya mengerami sekaligus menetaskan telurnya, sehingga dia mendapatkan anak keturunannya. Hal yang sama juga dilakukan ular ketika hendak berganti kulit. Hal ini agar penampilan dan gerakannya lebih lincah. Tanpa puasa, ular tak dapat berganti kulit.
Binatang lainnya yang melaksanakan puasa adalah kepompong. Kepompong berasal dari ulat melata yang jelek lagi menjijikkan dan bahkan tidak disukai manusia, sebab kalau bersentuhan dengannya, maka kulit akan terasa gatal. Ulat melaksanakan puasa, dengan menggulungkan dirinya kedalam daun, sehingga dia berubah jadi kepompong. Setelah jadi kepompong, sang ulatpun terus melaksanakan aktivitas puasanya, sehingga dia berubah menjadi kupu-kupu cantik yang disukai oleh semua orang, sebab badannya langsing, warnanya indah, gerakannya lincah, sedap dipandang mata.
Orang yang melaksanakan ibadah puasapun pada dasarnya seperti itu. Jika puasanya benar-benar dilakukan sesuai ketentuan hukum Islam, maka pelakunya akan berubah, lahir menjadi manusia baru yang berbeda dengan sebelumnya. Lahirnya sang manusia baru, dengan predikat muttaqin itu, sebelumnya telah mengendalikan kemauan fisiknya dengan menahan makan, minum dan melakukan hubungan suami istri pada siang hari, pikirannya juga dikendalikan dari fikiran-fikiran negative, akal bulus dan maksud jahat lainnya. Terakhir, jiwanya juga telah dikendalikan dan digembelng secara spiritual dan ruhani, sehingga dapat menangkal hal-hal negative yang akan terjadi pada dirinya.
Menghadapi Idul Fitri
Apabila Idul Fitri sudah tiba, umat Islam diharuskan menyikapinya secara wajar dan sederhana sekalipun itu adalah hari kemenangan. Hari kemenangan, bukan berarti hari berhambur-hamburan, harus menghabiskan uang banyak, menyiapkan makanan yang banyak dan merayakannya secara berlebihan. Hari kemenangan justru harus dibuktikan dengan penambahan iman kepada Allah SWT, sebagaimana hadis Nabi: Tidaklah hari raya itu bagi orang yang berbaju baru, akan tetapi hari raya itu adalah bagi orang yang imannya bertambah dan atau meningkat. Bertambah dan meningkatnya iman tersebut, dapat dibuktikan dengan hal-hal sebagai berikut :
Pertama, bermaaf-maafan antara satu sama lain dari segala noda dan dosa yang diperbuat selama ini, baik yang disengaja maupun tidak. Sehingga segala noda dan dosa yang berkaitan dengan sesama manusia dan barang kali belum terhapus dengan puasa, akan terhapus semuanya sehingga nilai kefitrian yang kita raih akan mencapai derajat kefitrian tertinggi. Perlu diketahui, bahwa bermaaf-maafan hanya dapat menghapus dosa kecil dan bersifat non materi, sedangkan dosa besar dan yang bersifat materi tidak dapat dihapuskan dengan bermaaf-maafan atau bersalam-salaman. Penghapusannya hanya dapat dilakukan dengan mengembalikan atau membayarkan materi tersebut.
Kedua, menjalin persaudaraan di antara sesama, barangkali selama ini ada hal-hal yang dilakukan yang menyebabkan putusnya hubungan silaturahim. Sehingga dengan demikian, tali yang kusut dan bahkan putus selama ini, akan terajut kembali secara apik dan mesra.
Silaturrahim berasal dari dua kata, yaitu silah dan rahim. Silah artinya adalah hubungan, sedangkan rahim artinya adalah tempat lahirnya bayi. Hal ini menunjukkan, bahwa hubungan antara umat manusia itu bukan hanya satu nasab, tetapi umat manusia berasal dari satu tempat lahir. Hubungan satu tempat lahir inilah yang harus dipupuk dan dikembangkan, sehingga terjalin ukhuwah islamiyah yang sangat kukuh.
Ketiga, saling membantu dan menolong di antara sesama kaum muslim yang diwujudkan dalam bentuk pemberian zakat fitrah dan bahkan zakat maal yang telah ditunaikan sebelumnya. Sehingga dengan demikian tidak ada seorangpun dari kalangan umat Islam yang menangis sedih pada masa idul fitri ini, sebagai akibat dari tidak dipunyainya makanan dan kebutuhan pokok lainnya pada hari raya itu. Membantu dan menolong sesama adalah perintah Allah SWT, sesuai firmanNya : Bertolong-tolonganlah kamu dalam hal kebaikan dan taqwa dan jangan bertolong-tolongan dalam hal kejahatan dan permusuhan.
Keempat, menyiapkan sedekah secara wajar, dengan memberikan infaq atau sadaqah berupa uang dan atau makanan kepada setiap yang bersilaturrahim kerumah kita, sehingga menambah pundi-pundi Tabungan amal shaleh kampung akhirat (Taska) kita sebagai bekal dihari kemudian. Harta, istri dan anak, semuanya akan ditinggalkan di dunia ini, Hanya amal shalehlah yang akan kita bawa ke liang kubur, untuk selanjutnya memasuki alam akhirat.
Kelima, menghindari perbuatan-perbuatan yang akan merusak derajat muttaqin dan mengotori kefitrian, yang telah kita raih selama bulan Ramadhan dengan melaksanakan ibadah puasa, yang menyebabkan diri tercoreng oleh noda dan dosa. Bila hal ini terjadi, maka tidak menutup kemungkinan kita akan terkena imbas sesuai kata pepatah, “Gara-gara Nila setitik, rusuk susu sebelanga“. Dengan demikian, diharapkan kita menjadi orang yang muttaqin, baik di saat sedang berpuasa maupun sesudah berpuasa.
Keenam, mempertahankan derajat muttaqin, baik selama bulan Ramadan maupun pasca ramadhan, yang dibuktikan dengan mempertahankan amaliah ramadhan, seperti rajin baca Alquran, rajin ke masjid, rajin salat malam, mampu mengendalikan diri, peduli kepada fakir miskin, membayar zakat, banyak berinfaq/sadaqah dan lain sebagainya.***

Next > |
---|