“Ikan patin adalah salah satu jenis ikan sungai atau air tawar. Ikan jenis ini memiliki bentuk yang unik. Badannya panjang sedikit memipih, berwana putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan, tidak bersisik, mulutnya kecil, memiliki sungut berjumlah 2-4 pasang yang berfungsi sebagai alat peraba. Hasil kajian Hasan Junus, seorang peneliti naskah Melayu di Riau mencatat paling kurang ada tiga kemungkinan asal nama Riau. Pertama troponomi Riau berasal dari penamaan orang Portugis dengan kata Rio yang berarti sungai. Kedua mungkin berasal dari tokoh sinbad Al-bahar dalam kitab Alfu Laila Wa laila (Seribu Satu Malam) yang menyebut Riahi, yang berarti air atau laut. Yang kedua ini pernah dikemukakan oleh Oemar amin Husin. Seorang tokoh masyarakat dan pengarang Riau dalam salah satu pidatonya mengenai terbentuknya Provinsi Riau. Ketiga, berasal dari penuturan masyarakat setempat.
Diangkat dari kata Rioh atau Riuh, yang berarti ramai, hiruk-pikuk orang bekerja. Nama Riau yang berasal dari penuturan orang Melayu setempat, kabarnya ada hubungannya dengan peristiwa didirikannya negeri baru di Sungai Carang, Untuk dijadikannya pusat kerajaan. Hulu sungai inilah yang kemudian bernama Ulu Riau. Adapun peristiwa itu kira-kira mempunyai teks sebagai berikut:
Tatkala perahu-perahu dagang yang semula pergi ke makam Tuhid (ibukota Kerajaan Johor) diperintahkan membawa barang dagangannya ke Sungai Carang di Pulau Bintan (suatu tempat sedang didirikan negeri baru). Di muara sungai itu mereka kehilangan arah. Bila ditanyakan kepada awak-awak perahu yang hilir, “di mana tempat orang-orang raja mendirikan negeri ?” mendapat jawaban “Di sana di tempat yang rioh”, Sambil mengisyaratkan ke hulu sungai menjelang sampai ke tempat yang dimaksud jika ditanya ke mana maksud mereka, selalu mereka jawab “mau ke rioh”.
Berdasarkan beberapa keterangan di atas maka nama Riau besar kemungkinan memang berasal dari penamaan rakyat setempat, yaitu orang Melayu yang hidup di daerah Bintan. Nama itu besar kemungkinan telah mulai terkenal semenjak Raja Kecik memindahkan pusat Kerajaan Melayu dari Johor ke ulu Riau pada tahun 1719. Setelah itu nama ini dipakai sebagai salah satu negeri dari 4 negeri utama yang membentuk kerajaan Riau, Lingga, Johor dan Pahang. Kemudian dengan perjanjian London 1824 antara Belanda dengan Inggris, kerajaan ini terbelah dua.
Belahan Johor, Pahang berada di bawah pengaruh Inggris. Sedangkan belahan Riau-Lingga berada di bawah pengaruh Belanda. Dalam zaman penjajahan Belanda 1905-1942 nama Riau dipakai untuk sebuah keresidenan yang daerahnya meliputi Kepulauan Riau serta pesisir timur Sumatera bagian tengah. Demikian juga dalam zaman Jepang relatif masih dipertahankan. Setelah Provinsi Riau terbentuk tahun 1958, maka nama itu dipergunakan pula untuk nama sebuah provinsi yang penduduknya dewasa itu sebagian besar terdiri dari orang Melayu.
Provinsi Riau yang didiami oleh sebagian puak Melayu dewasa ini masih dapat ditelusuri ke belakang, mempunyai suatu perjalanan yang cukup panjang. Riau yang daerahnya meliputi Kepulauan Riau sampai Pulau Tujuh di Laut Cina Selatan lalu ke daratan Sumatera meliputi daerah aliran sungai dari Rokan sampai Kuantan dan Inderagiri.
Sebenarnya juga telah pernah dirintis oleh sang Sapurba, seorang di antara raja-raja Melayu yang masih punya kerinduan terhadap kebesaran Melayu sejak dari Sriwijaya sampai Malaka. Seperti diceritakan dalam sejarah Melayu (Sulalatus Salatin) dalam cerita yang kedua, sang Sapurba telah mencoba menyatukan daerah Bintan (Kepulauan Riau) dengan Kuantan di belahan daratan Sumatera. Kemudian Raja Kecil juga punya ambisi untuk menyatukan daerah Selat Melaka itu dengan Siak di belahan Sumatera. Yang terakhir Raja Haji Fisabilillah mencoba menyatukan daerah Kepulauan Riau dengan Inderagiri, di antaranya Pekan Lais.
Ma’rifat Marjani
Pembentukan Provinsi Riau telah memerlukan waktu paling kurang 6 tahun, yaitu dari tahun 1952 sampai 1958. Usaha pembentukan provinsi ini melepaskan diri dari Provinsi Sumatera Tengah (yang meliputi Sumatera Barat, Jambi dan Riau) dilakukan di tingkat DPR pusat oleh Ma’rifat Marjani. Dengan dukungan penuh dari seluruh penduduk Riau.
Pembentukan provinsi ini telah ditetapkan dengan Undang-Undang Darurat No 19/1957 yang kemudian diundangkan dengan Undang-Undang No 61 Tahun 1958. Provinsi Riau ini merupakan gabungan dari sejumlah kerajaan Melayu yang pernah berdiri di rantau ini, di antaranya ialah Kerajaan Inderagiri (1658-1838), Kerajaan Siak (1723-1858), Kerajaan Pelalawan (1530-1879), Kerajaan Riau-Lingga (1824-1913) dan banyak lagi kerajaan kecil lainnya, seperti Tambusai, Rantau Binuang Sakti, Rambah, Kampar dan Kandis (Rantau Kuantan).
Dalam sejarahnya, daerah Riau pernah menjadi penghasil berbagai hasil bumi dan barang lainnya. Pulau Bintan pernah dijuluki sebagai "Pulau Segantang Lada", karena banyak menghasilkan lada. Daerah Pulau Tujuh, terutama Pulai Midai pernah menjadi penghasil kopra terbesar di Asia Tenggara, paling kurang sejak tahun 1906 sampai 1950-an. Bagan siapi-api sampai tahun 1950-an adalah penghasil ikan terbesar di Indonesia. Batu bata yang dibuat perusahaan Raja Aji Kelana di Pulau Batam, pasarannya mencapai Malaysia sekarang ini. Kemudia dalam bidang penghasil karet alam, dengan sistem kupon tahun 1930-an belahan daratan seperti Kuantan, Inderagiri dan Kampar juga daerah yang amat potensial. (dari berbagai sumber)

Next > |
---|