Dalam rangka refleksi tahun baru Islam 1435 Hijriah, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mempropaganda umat Islam, sehingga dapat memecah belah persatuan di Indonesia yang telah terpupuk. Tujuannya adalah untuk proses penyadaran kembali bahwa umat Islam di Indonesia adalah umat yang terbesar dari segi kuantitatif dan hendaknya besar juga dalam kualitatifnya. Sebagai refleksi, sejarah juga telah menorehkan bahwa Islam pernah berada pada puncak kejayaan dari semua sisi, baik dari keilmuan, politik dan pemerintahan, budaya, dan sebagainya. Namun, kejayaan itu hanya tinggal cerita dan mungkin suatu saat nanti tidak ada lagi yang mampu untuk menceritakan ke generasi berikutnya. Atau, hanya bukti sejarah yang tidak bergerak di dalam museum saja yang hanya menjadi prasasti kejayaan tersebut.
Umat Islam sudah terpengaruh dengan budaya, paham atau ajaran, sistem politik dan pemerintahan, tingkah laku dan lain-lain dari umat yang lainnya. Padahal, Islam sebagai variabel terpengaruh, dahulunya pernah berada pada posisi variabel yang mempengaruhi dalam semua objek. Pertanyaannya adalah, apakah umat Islam secara alamiah terpengaruh atau memang ada setting opinion sehingga umat Islam bisa terpengaruh. Inilah yang penulis sebut dengan istilah ‘politik hegemoni’. Di mana umat lain telah mendominasi umat Islam dengan berbagai mekanisme, baik yang terencana secara kasat mata, maupun terselubung.
Pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad SAW hingga sahabat-sahabatnya, Islam punya corak tersendiri dalam sistem politik dan pemerintahannya. Kejayaan dan kemakmuran tercipta untuk semua golongan. Akhir kepemimpinan Islam adalah sejak runtuhnya kerajaan Turki Utsmani oleh ‘kaki tangan’ Barat yang ada di Turki. Hegemoni politik non-Islam mulai merambah ke semua sisi politik dan pemerintahan di Turki.
Kerajaan atau pemerintahan Islam yang ada di Timur Tengah sekarang ini bukanlah proyeksi dari pemerintahan Islam yang sesungguhnya sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Sebutan pemerintahannya memang Islam, tetapi pelaksanaannya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Demokrasi perspektif baru dan ajaran baru yang lainnya dalam politik dan pemerintahan menjadi rujukan utama dalam pelaksanaan pemerintahannya. Pemerintahan Islam di Timur Tengah juga telah terhegemoni dengan teori politik baru yang tidak bersumber dari Islam.
Kita dapat pula mempelajari hegemoninya di Indonesia. Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim tidak dapat menerapkan sistem politik dan pemerintahannya yang sesuai dengan Islam. Umat Islam di Indonesia bagaikan buih di tengah lautan. Islam hanya sebagai simbol dan ritual sakral saja. Adalah hal yang dianggap tabu jika Islam dipadukan dengan politik dan pemerintahan yang ada di Indonesia. Padahal, Islam hadir untuk semua sisi kehidupan, tidak tertutup untuk politik dan pemerintahan.
Setelah Masyumi yang pernah menang Pemilu, partai politik Islam lainnya tidak pernah lagi memenangi pemilu, untuk mencapai tiga besar saja susah. Tokoh-tokoh Islam tidak mau bergabung dengan partai politik Islam. Ada ketakutan tertentu jika bergabung dengannya. Para ulama juga dianggap tabu jika bergabung dalam partai politik Islam. Umat Islam didoktrin untuk mendikotomi diri antara politik dan agama. Saat ini, sangat sedikit para tokoh Islam (ulama) yang memainkan peran politik di negeri ini.
Ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk mengembalikan kejayaan umat Islam seiring dengan bertambahnya usia Islam itu sendiri. Pertama, umat Islam harus faham bahwa kita sedang dihegemoni oleh umat yang lainnya. Hegemoni tersebut dari semua sisi kehidupan. Contoh sederhana saja, kita tidak lagi menggunakan sistem penghitungan penanggalan atau kalender hijriah yang kebenaran ilmiah dan penghitungan bulannya sesuai dengan kondisi bulan di langit. Kita lebih menggunakan penghitungan masehi yang asalnya dari umat non-muslim dan tidak bisa dibuktikan kebenaran penghitungannya. Bisa juga dilihat dari ilmu pengetahuan, di mana para pencetus ilmu pengetahuan pertama kali adalah umat Islam, namun di tengah hegemoni umat non-Muslim kita tidak lagi mengenal tokoh ilmuan terkemuka Muslim melainkan dari kelompok non-Muslim. Tidak terlupa juga dari sistem politik dan pemerintahan, kita lupa bahkan tidak tahu bahwa Islam punya sistem tersendiri.
Kedua, kembali kepada persatuan umat Islam. Kejayaan tidak akan dapat tercapai tanpa persatuan, terlepas bagaimana jalan menuju persatuan tersebut. Kita harus melepaskan egosentris aliran, mazhab, paham dan sempalan dalam agama Islam. Penyatuan partai politik menuju kemenangan penguasaan pemerintahan adalah hal yang mutlak. Jika pemerintahan telah dikuasai, maka semua sendi kehidupan akan mudah untuk diterapkan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Ketiga, lepaskan pemahaman dikotomi antara agama dan politik. Sesungguhnya kita harus menempatkan orang-orang alim dan cendikia dalam kehidupan politik negara Indonesia. Kalau kita takut agama akan tercemar oleh tingkah mereka yang korup, maka kita harusnya juga takut jika negara ini akan hancur karena dipimpin oleh mereka yang tidak alim dan pasti akan korup. Logikanya, yang alim saja korup apalagi yang tidak alim dan cendikia dimana nurani agamanya sudah tidak lengket lagi dalam sanubarinya. Jadi, sudah saatnya kita menempatkan ulama dalam pemerintahan, sebagaimana Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang menjadi pemeran utama dalam politik di kala itu. Sejarah Indonesia juga pernah mengantarkan ulama terkemuka menjadi Perdana Menteri Indonesia yakni Muhammad Natsir dan beliau pioner pemersatu bangsa kala itu (RIS menjadi NKRI).
Keempat, jadikan momentum tahun baru Islam 1435 H ini sebagai semangat baru kebangkitan umat Islam dan titik awal perjuangannya. Jangan lagi partai politik Islam bergerak secara parsial. Mungkin pemilu 2014 tidak mungkin untuk penyatuan tersebut, tetapi jadikan tahun baru ini sebagai proses membentuk wacana untuk persatuan itu. “Kembalilah kepada tali Allah”.(M Zainuddin)

Next > |
---|