Haluan Riau

Sunday, Nov 03rd

Last update06:14:00 AM GMT

You are here: NEWS GAGASAN Bahtera di Tengah Samudera

Bahtera di Tengah Samudera

APA yang kita pikirkan jika mendapatkan informasi tentang sebuah bahtera atau perahu layar berada di tengah samudera? Sedikitnya ada dua kemungkinan. Pertama, perahu tersebut sedang dilamun badai gelombang. Terombang ambing menghempaskan  lambung perahu beserta isinya, yang juga berarti menghempaskan para pelayar di atasnya. Dan itu adalah tantangan terbesar bagi para pelaut umumnya. Tetapi yang lebih ditakuti adalah lanun, bajak laut, para perampok. Apalagi kalau melintas di perairan Somalia. Wah, dag dig, duglah itu.
Lalu kemungkinan lain, sebuah perahu seolah seperti sedang berlabuh, lego jangkar. Karena tak ada angin. Sementara burung camar, atau seagul, berterbangan, ke sana ke mari.  Terkadang hinggap di tiang-tiang bahtera. Mengintip mangsanya, ikan-ikan yang menari-nari di air yang jernih.
Ilustrasi yang manakah yang bisa dicocoksamakan, dengan kondisi bahasa Indonesia saat ini. Kalau saya menganalogikan dengan ilustrasi kedua. Yaitu, bahasa Indonesia bagai sebuah perahu yang sedang stagnan di tengah samudera yang luas. Mematung karena tak ada angin. Menunggu angin berembus. Baru bisa bergerak lagi.
Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu Riau ini, nasibnya bagaikan, itu tadi, sebuah perahu layar yang rehat di tengah lautan. Dan angin yang ditunggu untuk menggerakkannya adalah para pejabat yang sedang berkuasa. yang peduli dan cinta akan bahasa Indonesia.
Menegakkan aturan di Negara berkembang hanya bisa dilakukan dengan ancaman hukuman terhadap para pelanggarnya. Kecuali bagi Negara maju yang kesadarannya sudah cukup tinggi. Hukum dan undang-undang tak pernah diutak-atik. karena semua sudah berjalan sesuai hukum dan undang-undang yang dibuat.
Setiap pemilihan, apakah bupati, gubernur atau pun presiden, belum pernah ada permintaan dari kita agar sang kandidat membuat kontrak politik. Apabila terpilih, memasukkan janji, salah satu akan peduli terhadap bahasa Indonesia yang merupakan bahasa resmi Negara.
Mungkinkah bahasa Indonesia akan sama nasibnya dengan bahasa Sanskerta atau bahasa Yunani? Di mana kedua bahasa ini sudah punah. Tidak lagi digunakan sebagai percakapan   sehari-hari oleh masyarakatnya. Kedua bahasa tersebut hanya digunakan sebagai slogan-slogan. Kalimat untuk jargon-jargon, kalimat-kalimat motivasi. Misalnya, bahasa Sanskerta, tut wuri handayani, ing karsa mangun tulada. Semboyan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. yang berarti memberi contoh dan bimbingan dari depan samping dan belakang. Atau bahasa Yunani, ora et labora,  Homo homini lupus dan lain-lain. Berdoa dan bekerja, atau manusia adalah srigala bagi manusia lainnya.
Dengan penuh optimis, bisa dipastikan, bahwa,  bahasa Indonesia, baca bahasa Melayu, tidak akan pernah hilang di bumi, sebab, dia digunakan oleh banyak orang dalam sebuah atau beberapa Negara.  Indonesia sendiri, Malaysia dan Singapura. Tegasnya, masyarakat pemakainya ada dan dalam jumlah yang besar yang mendiami ribuan pulau besar dan kecil yang berjajar si sepanjang nusantara.
Mungkin selama ini, sebagian kesalahan kita juga, sebagai rakyat. Sehingga kita lihat, perhatian para pejabat yang kita pilih,  terhadap bahasa Indonesia seperti suka-suka saja. Kalau pejabatnya peduli terhadap bahasa Indonesia, ya, semua istilah atau merek-merek usaha, papan-papan nama ditertibkan. Jika pejabatnya tidak peduli, ya, dibiarkan saja segala nama dan merek berbau asing merajalela di sepanjang jalan di kota-kota. Mungkin juga sampai ke desa dusun ranah tercinta.
Apa mau dikata, jika istilah, cluster, residence, apartement, supermarket, launching, shopping, travelling, dan banyak lagi sudah menjadi istilah biasa bagi sebagian besar masyarakat kita. Kita sambut positif semua ini. Sebab, sesuai dengan kodrat asalnya, bahwa bahasa Melayu, mudah menyatu dan terbuka untuk bergabung dengan bahasa mana pun. Namun, jika masih ada  kata dan istilah kita, mengapa harus memakai yang lain. Ini sangat ber hubungan dengan jiwa dan rasa nasionalisme. Rasa cinta kepada tanah air. Salah satu di antaranya, mencintai bahasa kita.
Kecenderungan orang-orang sibuk sekarang adalah menggunakan bahasa yang simple, praktis. Sebab, kehidupan modern menuntut seperti itu. Cepat, hemat dan selamat. Bahasa Inggris untuk menghitung satu sampai sepuluh, rata-rata mereka memakai satu suku kata, kecuali untuk angka 7 (se-ven), Sedangkan yang lain hanya memerlukan satu suku kata. Misalnya, one, two, three, four, five, six, se-ven, eigh, nine dan ten. Berbeda dengan bahasa Indonesia rata-rata menggunakan dua atau tiga suku kata. Misalnya, sa-tu, du-a, ti-ga dan seterusnya. Begitu juga bahasa Hokian/China, hampir sama dengan bahas Inggris. Cit, nang, sa, si, go, lak , cet, puik, kau, cap. Untuk hitungan dari satu sampai sepuluh mereka hanya memakai satu suku kata.
Jika hal yang dijelaskan di atas termasuk penyebab orang kurang suka berbahasa Indonesia, tentu ini merupakan tugas pakar dan lembaga bahasa untuk memperbaikinya. Misalnya, kata yang bersuku empat atau bersuku tiga, dijadikan bersuku tiga dan dua. yang bersuku dua dijadikan satu. Misalnya, keroncong, menjadi kroncong, terampil menjadi trampil, karena menjadi karna.  dan seterusnya.
Langkah ini dilakukan, jika alasannya adalah untuk keefektivan dan keefisienan berbahasa. Baik bahasa tulis maupun bahasa lisan. Para pakar dan lembaga bahasa, harus tetap berfikir, mengapa orang lebih suka menggunakan istilah Asing di negerinya sendiri. Pejabat yang berkuasa harus memberi wewenang kepada lembaga bahasa untuk menertibkan istilah-istilah yang bukan bahasa kita.
Orang Riau, yang punya bahasa Melayu, nasibnya hampir sama dengan orang Inggris. Bedanya mungkin hanya radius, atau wilayah pemakai. Maksudnya, kalau orang Inggris ke mana pun pergi ke seluruh dunia, orang akan memahami perasaan dan pikirannya. Sebab, mereka menggunakan bahasa Inggris yang hampir dimengerti oleh warga dunia, sampai ke ceruk-ceruk desa. Minimal, yes, no, I love you dan lain-lain. Begitu juga suku bangsa Melayu, ke mana pun pergi di nusantara ini, orang setempat akan memahami maksud dan hajatnya. Sebab, bahasa Melayu sudah menjadi Lingua Franca sejak berabad-abad lalu. Meskipun begitu, tetap membutuhkan pejabat yang peduli untuk merawatnya, selain sastrawan dan wartawan. Agar bahtera, kalau boleh diumpamakan begitu,  bahasa kita terus berlayar mengitari jagat raya, minimal, kokoh di nusantara. “Oh, Pejabat, Oh, angin, berembuslah! Semoga (Oleh Pandu Syaiful)


AddThis Social Bookmark Button

Add comment


Security code
Refresh