Pekan-pekan ini (dua minggu sebelum Idul Fitri 2013), hampir seluruh pekerja (terutama para pegawai swasta dan BUMN) mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR). Seremonial tahunan berupa pembagian "bonus" THR ini hampir senantiasa ditunggu-tunggu banyak pegawai dan karyawan. Maklum, dengan tambahan pendapatan tahunan ini, mereka bisa menambah konsumsi mereka, sehingga beberapa kebutuhan (sandang dan pangan) terutama untuk memenuhi hajat besar lebaran tahun 2013 ini, bisa terpenuhi tepat pada waktunya.
Pemerintah menetapkan bahwa para pemilik perusahaan wajib membayar THR bagi pekerja yang sudah bekerja 3 bulan terus menerus. Tentunya, perhitungan yang dipakai adalah sistem proporsional, sesuai dengan masa kerja. Sayang, periode penerimaan THR tahun ini bertepatan dengan tahun keprihatinan nasional. Bagaimana tidak? Pacakenaikan harga BBM bersubsidi, terjadi lonjakan kenaikan harga barang dan jasa yang demikian akutnya. Angka inflasi terdongkrak naik, suku bunga perbankan ikut meninggi. BI-rate sontak menjadi 6,5%
Bijaksana
Oleh sebab itu, kalau hari-hari ini ada banyak anggota masyarakat yang menerima uang THR, maka uang itu harus bisa dibelanjakan dengan bijaksana. Jangan sampai uang tunai THR tersebut dibelanjakan dengan sembrono dan langsung habis seketika untuk berbagai keperluan konsumtif. Dana-dana itu harus bisa dipakai untuk berbagai keperluan produktif, sehingga berdurasi agak panjang. Dana-dana tunai ini hendaknya bisa dipakai untuk modal usaha, memulai bisnis skala UKM, atau untuk keperluan produktif lainnya.
Maklum, setelah Lebaran 2013 ini, tidak ada jaminan bahwa kantor atau pabrik di mana mereka bekerja masih bisa beroperasi. Maklum, ketidakpastian dunia usaha pascakenaikan harga barang dan jasa serta krisis keuangan dunia, demikian besar. Kenaikan biaya produksi yang harus ditanggung oleh para pemilik usaha demikian besar, yang mungkin tidak sesuai dengan harga jual dari produk yang dihasilkannya. Oleh sebab itu, belanjakan uang THR dengan sangat bijaksana, adalah agenda yang harus dilakukan oleh banyak karyawan yang menerima uang THR.
Tak hanya itu tentunya. Dengan semakin meledaknya jumlah orang miskin dan juga semakin banyaknya jumlah pengangguran, maka para penerima uang THR hendaknya juga perlu memikirkan orang lain. Kita tampaknya perlu tepo sliro, mengingat masih banyaknya pengangguran dan orang miskin di negeri ini. Para penganggur ini jelas tidak memiliki banyak uang. Boro-boro THR, mereka tidak memiliki pekerjaan yang tetap (menganggur). Dhus, kalau para penerima THR ini membabi buta dalam membelanjakan uangnya, jelas akan memancing terjadinya ketimpangan dan kesenjangan sosial.
Oleh sebab itu, sisihkan sebagian dana THR untuk "investasi" masa depan, yakni dalam bentuk kegiatan filantrofi seperti sedekah, zakat, atau pemberian sosial lainnya. Bukankah ini merupakan bentuk investasi masa depan yang berdampak bagi orang lain? Pemberian semacam ini jelas bagaikan oase di tengah padang gurun yang kering, tandus dan kerontang. Setahun sekali, kaum miskin, anak terlantar, para pengangguran juga boleh ikut merasakan dampak dari bergulirnya uang THR ini. Inilah bentuk solidaritas sosial, yang perlu dikembangkan bersamaan momentumnya dengan pembagian THR ini.
Kalau bentuk solidaritas sosial ini sudah mulai ditumbuhkembangkan, niscaya berbagai ketimpangan dan kesenjangan sosial akan bisa dikurangi di negeri ini. Orang kaya memberikan subsidi kepada orang tidak mampu (miskin), orang yang lebih memberikan dukungan kepada orang yang kekurangan. Jika semuanya bisa terjadi secara seimbang, bukankah akan tercipta sebuah harmoni yang indah luar biasa? Intinya, berbagi kasih dan peduli, tampaknya perlu dikembangkan dalam masyarakat Indonesia. Mereka yang kaya peduli kepada yang miskin dan papa.
Nah, semangat solidaritas sosial semacam ini hendaknya harus terus ditumbuhkembangkan. Dengan demikian, akan terjadi pemerataan. THR tidak sekadar untuk diri sendiri dan keluarganya (egosentris), namun juga berdampak bagi sesama (orang lain). THR bukan sekadar untuk memenuhi berbagai keperluan pribadi, namun juga untuk memenuhi dan membantu kehidupan orang lain. Dengan cara semacam itu, kehidupan kita akan semakin diperkaya. Dengan memberi, maka magnitude (gaung) dan eskalasi dari pembagian uang THR tersebut akan semakin meluas.
Dengan demikian, multiplier effect dari THR akan semakin meluas dan membesar, tidak terbatas pada si karyawan dan keluarganya semata. Apabila semangat solidaritas sosial semacam ini sudah mulai berkembang, maka momentum pembagian THR sebenarnya merupakan hajat besar bagi seluruh masyarakat Indonesia. Maklum, yang berbahagia tidak hanya si penerima THR dan keluarganya, namun juga seluruh warga masyarakat di sekitarnya, karena mereka akan ikut "kecipratan" dampak dari uang THR, akibat sudah berjalannya konsep solidaritas sosial tersebut.
Nah, budaya semacam ini harus mulai ditanamkan dalam benak mereka yang masih beruntung mendapatkan THR. Sebuah budaya yang tidak sekadar memikirkan kepentingan sendiri, namun juga kepentingan orang lain, yakni budaya solider, senasib sepenanggungan. Bukankah ini sebenarnya merupakan budaya asli Indonesia, yang belakangan ini sudah mulai memudar akibat serbuan budaya barat yang cenderung individual dan egois? Budaya semacam ini harus dikikis habis. Semangat solidaritas sosial harus terus dibakar. Kalau begitu, selamat menerima THR dan berbagi kasih dengan sesama. ***
Oleh: Susidarto - Penulis adalah praktisi bisnis perbankan.

Next > |
---|