Baru-baru ini, ruang publik kita, terutama di media sosial, penuh dengan gerakan dan slogan “save KPK”, selamatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Gerakan dan slogan ini merebak akibat banyaknya kalangan yang diduga kuat berupaya melemahkan KPK. Jika KPK sudah benar-benar lemah, para koruptor pasti akan tertawa karena KPK lah yang belakangan ini membuat sebagian mereka meringkuk dalam penjara. Setelah “save KPK” muncul pula gerakan dan slogan “save Polisi”, karena dalam selisih paham antara KPK versus Polisi dalam penanganan kasus korupsi simulator surat izin mengemudi (SIM) yang melibatkan petinggi Polri, publik bahkan presiden lebih membela KPK. Merasa disudutkan dan peranannya sebagai salah satu lembaga penegak hukum cenderung diabaikan, maka Polri dan kalangan yang peduli dengan keberadaannya memunculkan gerakan atau slogan “save Polisi”.
KPK dan Polisi memang harus sama-sama diselamatkan dari segala kemungkinan yang membuat kedua lembaga negara yang fungsinya sangat vital ini menjadi kerdil. Dalam negara demokrasi, keberadaan lembaga penegak hukum merupakan keniscayaan. Karena lembaga inilah yang akan menjamin setiap warga negara mendapatkan rasa aman dan menerima perlakuan yang sama di depan hukum (equality before the law).
Selain KPK dan Polisi, lembaga lain yang harus kita selamatkan adalah partai politik. Dalam negara demokrasi, seperti lembaga-lembaga penegak hukum, partai politik juga memiliki fungsi yang sangat vital. Secara sistemik, demokrasi tak bisa dibangun tanpa adanya partai politik yang sehat.
Partai politik perlu diselamatkan karena di tengah-tengah masyarakat kita sekarang muncul gejala yang cenderung mendeligitimasi partai politik. Kecenderungan ini tentu ada sebabnya. Yang paling utama karena di mata publik, partai politik hanya berisi sekumpulan oknum yang ambisius, gila jabatan, dan korup. Jika ada sederetan nama koruptor kakap, pasti di antara mereka ada yang berasal dari partai politik. Kalau pun ada pebisnis, atau birokrat yang tersangkut korupsi skala besar, pada umumnya pasti ada kaitan (karena bekerjasama/kongkalikong) dengan aktivis partai politik.
Karena buruknya citra partai politik itu kiranya wajar jika gejala delegitimasi partai politik merebak di tengah-tengah masyarakat. Bahkan dalam proses Pemilukada Jakarta baru-baru ini, ada calon independen --yang nota bene bekas aktivis partai politik-- yang sikapnya begitu sinis terhadap partai politik. Kekalahan calon yang didukung oleh mayoritas partai politik juga menjadi amunisi tambahan atas kesinisannya pada partai politik.
Di tengah merebaknya gejala delegitimasi partai politik, kita patut bersyukur dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan semua partai politik peserta Pemilu untuk menjalani proses verifikasi faktual yang dijalankan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dengan adanya ketentuan ini, para pimpinan partai politik yang sebelumnya abai dengan kebencian publik --karena yang penting bisa ikut Pemilu—menjadi tersadar.
Di dalam negara demokrasi, partai politik bukanlah batu loncatan, atau sekadar kendaraan untuk meraih kekuasaan. Partai politik merupakan lembaga tempat agregasi kepentingan publik diperhatikan, tempat beragam aspirasi rakyat disalurkan. Karena fungsinya yang sangat penting inilah partai politik disebut sebagai pilar demokrasi.
Untuk menjamin agar fungsi-fungsi penting ini bisa dijalankan maka dibutuhkan persyaratan infrastruktur partai politik yang memadai seperti keharusan memiliki kantor sekretariat sebagai pusat kegiatan partai di semua provinsi, di 75 persen kabupaten/kota dalam setiap provinsi, dan di 50 persen kecamatan di setiap kabupaten/kota. Selain itu, setiap partai politik juga harus memiliki anggota resmi –dibuktikan dengan kartu anggota (KTA) yang dilampiri KTP yang masih berlaku-- minimal seribu, atau seperseribu dari jumlah penduduk di setiap kabupaten/kota.
Dengan ketentuan-ketentuan ini, partai politik dipaksa untuk benar-benar ada di tengah-tengah masyarakat, dipaksa untuk peduli dengan rakyat yang akan memilihnya dalam Pemilu. Pada saat direkrut menjadi anggota resmi, biasanya disertai dengan konsesi-konsesi yang sedikit banyak bisa dimanfaatkan oleh yang bersangkutan (pemegang KTA). Tanpa ada konsesi yang bisa dimanfaatkan, umumnya rakyat sama sekali tidak tertarik menjadi anggota partai politik.
Tidak semua partai politik mampu memenuhi persyaratan sebagaimana yang diharuskan. Artinya, secara faktual, banyak di antara partai politik yang tidak layak untuk mengikuti Pemilu. Bisa dibayangkan, bagaimana kondisi partai-partai ini jika tidak ada keharusan mengikuti verifikasi faktual. Keterpurukan mereka akan semakin sulit diselamatkan.
Next > |
---|