Haluan Riau

Sunday, Nov 03rd

Last update06:14:00 AM GMT

You are here: NEWS GAGASAN Ketahanan Pangan dan Harga Diri Bangsa

Ketahanan Pangan dan Harga Diri Bangsa

Kota Bukittinggi menjadi saksi pe nandatanganan komitmen oleh 12 menteri dan 12 gubernur di Indonesia. Dalam agenda yang bersamaan dengan rapat Kabinet Indonesia Bersatu II dan pejabat tinggi negara lainnya di Istana Bung Hatta, Bukittinggi Sumatera Barat (29/10/2013) itu, ketahanan pangan memang jadi sorotan. Apalagi digelar dalam rangkaian peringatan puncak Hari Pangan Sedunia yang diperingati 31 Oktober 2013. Flashback, sorotan dengan intens yang lebih pernah disuarakan lewat forum antar negara. Adalah forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-18, 7-8 Mei 2011 di Jakarta. Negara-negara ASEAN menyuratkan kecemasan dan keprihatinan dengan tingkat yang sama. Berlandaskan pada kondisi itulah, akhirnya dalam forum ini disepakati pula solusi berupa kerja sama intens, yang presiden SBY menggunakan istilah ketahanan pangan terintegrasi. Bentuk derivatnya meliputi penelitian kepanganan, pengembangan investasi kepanganan dan pengembangan kepanganan antar negara Asean.
Menguatnya perhatian terhadap ketahanan pangan memang sudah seharusnya–bahkan bisa dibilang telat. Karena, ketahanan pangan memiliki dampak signifikan secara ekonomi dan sosial suatu negara. Dari catatan tanah air, ketika harga pangan mengalami lonjakan harga, maka berpengaruh secara langsung terhadap bertambahnya jumlah penduduk miskin.
Situasi ketahanan pangan sebenarnya telah menjadi pekerjaan rumah Indonesia yang terus diwariskan dari pemerintahan satu ke berikutnya. Semangat reformasi, dalam bentuk nyatanya otonomi, cenderung mengorbankan kesatuan ide dan kebijakan ketahanan nasional. Terutama dalam misi mengembalikan posisi kita sebagai negara agraris. Sehingga kita terlihat tak berdaya menghadapi kekurangan pangan. Kalah dibandingkan dengan negara tetangga, yang justru wilayahnya sepersekian Indonesia.
Diharapkan dengan adanya forum ASEAN ini, dapat dikonversi sebagai momen kontemplasi nasional. Sudah saatnya kita berpikir untuk tidak semata untuk memenuhi ketersediaan stok pangan di daerah kita, namun juga kepentingan lebih luas. Dalam konteks otonomi, kita amat berharap Riau bisa mengambil bagian dalam garda terdepan yang memberi konstribusi. Karena ketahanan pangan adalah wujud harga diri (dignity)bangsa. Dengan ketahanan pangan yang mumpuni, tidak hanya berdampak pada kemandirian dan ketahanan nasional, tetapi lebih dari itu, kita bisa berbuat lebih untuk membantu ketahanan pangan antar bangsa.
Pangan Riau dalam Angka
Dalam konteks kekinian, pemerintah pusat mengeluarkan target capaian guna menggenjot surplus beras hingga 10 juta ton pada 2014. Namun langkah ini dinilai akan menghadapi sejumlah dinding tebal dan relatif akan sulit mencapai sasaran jika tidak bisa mengatasi multi faktor yang dapat menjadi penghambat.
Perbedaan situasi daerah dan kondisi multidimensi bisa dibilang rintangan yang harus dihadapi untuk mengatasi krisis ketahanan pangan. Dalam konteks Riau sendiri, faktor penghambatnya sangat kompleks. Namun konkritnya, eksistensi lahan tanaman pangan serta pengelolaan menjadi persoalan primer yang butuh solusi yang terintegrasi.
Soal lahan pangan, alih fungsi bisa dibilang cukup tinggi. Dalam kurun 2002-2010, luas alih fungsi mencapai sekitar 20.069 hektare. Kondisi tersebut tersebar di 12 kabupaten/kota yang ada di Riau. Angka lainnya mengatakan, bahwa rata-rata sekitar 2.500 hektare areal persawahan di Riau berganti menjadi kebun kelapa sawit setiap tahun kemudian baru ladang dan semak belukar. Untuk Alih fungsi menjadi perkebunan sawit paling masif di Kabupaten Indragiri Hulu, Kampar, Pelalawan, dan Rokan Hilir.
Di samping alih lahan, kurang maksimalnya pengelolaan lahan juga menyumbang masalah. Menurut laporan instansi berkompeten, pertanian bila dimaksimalkan dalam setahun bisa dua sampai tiga kali panen. Namun selama ini, pengelolaan pertanian di Riau rata-rata dalam setahun hanya empat bulan pemanfaatan lahannya. Itu sudah mencakup mulai pengelolaan lahan hingga produksi. Sedangkan sisa delapan bulan lahan tersebut dibiarkan menjadi semak-semak atau terlantar.
Bila keadaan ini tidak diantisipasi, dikhawatirkan akan berdampak, terutama secara pragmatis pada konteks lokal Riau. Karena, dengan kondisi lahan tersebut maka akan semakin tinggi ketergantungan Riau terhadap berbagai komiditi pangan dari provinsi tetangga, mayoritas dari Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan. Untuk kabar terakhir, defisit beras Riau mencapai 233 ton (Riaupos, 23/5/11). Adapun detail kebutuhan beras di Riau, untuk tahun 2010 mencapai 596.763 ton, sedang  produksi beras Riau hanya 363.314 ton.
Kita tidak bisa terus bergantung dari provinsi tetangga. Sebab, sejalan dengan perkembangan secara demografi dan ekonomi dari kabupaten/kota di Riau, juga akan berdampak pada pertumbuhan penduduk. Setakad ini saja, Riau memiliki angka pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, yakni 3,15 persen. Realita ini idealnya harus diimbangi dengan pertumbuhan sektor pertanian.
Sinergitas keterpaduan langkah adalah solusi dalam hal ini. Upaya Pemerintah Provinsi Riau melalui program  Operasi Pangan Riau Makmur (OPRM) –yang menargetkan produksi 1 juta ton gabah pada 2009-2013- bisa dijadikan langkah awal yang bertujuan meningkat produksi pangan di Riau ke depannya. Sejak dicanangkan beberapa tahun lalu, program ini telah memberi kontribusi signifikan, yang pada tahun 2010 berhasil meningkatkan jumlah produksi sebesar 8,17 persen. Bahkan juga mendapat respon dari pemerintah pusat.
Namun, upaya lain juga perlu dilakukan guna membuat program ini lebih berdayaguna. Diantaranya yang bersifat sangat teknis, seperti: penguatan kelembagaan petani, seperti pemberian insentif kepada kelompok tani, pendampingan, dan meningkatkan akses petani kepada lembaga keuangan, serta jaminan stabilitas harga jual padi sehingga memuaskan para petani. Langkah ini dinilai sangat efektif mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah.
Kemudian, langkah struktural fungsional juga perlu digesa. Paling utama sekali menyegerakan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang baku di Riau yang sekarang proses RTRWP Riau masih belum rampung dalam pembahasan di pemerintah pusat. Padahal ini amat dibutuhkan melihat banyak terjadi tumpang tindih lahan. Misalnya kegagalan pencetakan sawah baru di kawasan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, karena areal untuk sawah ternyata tumpang tindih dengan konsesi perusahaan bubur kertas.
Bagaimanapun ketahanan pangan bukanlah permasalahan tanpa solusi. Di sini dibutuhkan pengertian dan kepedulian bersama dalam bingkai otonomi. Selama ini ada penilaian otonomi cenderung berkosentrasi pada penguatan daerah semata, sehingga melupakan kebutuhan nasional. Saya terenyuh ketika kilas balik sejarah perebutan dan awal kemerdekaan, dimana masing-masing daerah antusias memberikan apa yang terbaik yang dimiliki untuk kepentingan nasional. Mungkin ini yang harus kita pelajari.(Oleh Mahdinur)

AddThis Social Bookmark Button

Add comment


Security code
Refresh