Penulis menyampaikan salam takzim dan salut kepada media massa Radio Smart FM (Haluan Group) dan Tribun Pekanbaru yang telah berani mengangkat topik Trial By The Press pada Diskusi Perss Corner yang disiarkan secara live oleh Radio Smart FM pada Senin, 30 Juli 2012 lalu di Studio 2 Smart FM Pekanbaru. Narasumbernya selain penulis, juga ada narasumber lain, Rinaldi Sagita dari Tribun Pekanbaru dan Ozi yang mewakili Aliansi Jurnalis Independent Pekanbaru. Topik press corner kali ini seolah-olah kita berdiri di depan cermin dan melihat sisi diri kita. Ini merupakan keberanian diri melakukan otokritik dan membongkar prilaku yang selama ini dianggap tidak sesuai dengan etika jurnalistik.
Awalnya ada rasa ketir untuk menjadi narasumber dalam topik ini. Namun penulis diyakinkan beberapa pelaku jurnalis dan praktisi publik relations (humas) agar tetap menyampaikan "pencerahan" dan pemahaman kepada para pelaku jurnalis dan seluruh masyarakat penikmat dari hasil karya jurnalistik. Sehingga membuat keyakinan diri penulis bahwa telaahan topik ini harus tetap disampaikan meskipun penyampaiannya melalui transmisi udara itu nantinya akan menimbulkan resistensi dan multi interprestasi dari berbagai pihak dalam rentang waktu dialog press corner yang terbatas. Kita patut mengapresiasi kepada kedua media massa ini.
Tulisan ini bukanlah bermaksud menggurui atau meng-judge (menghakimi) satu pihak tertentu. Penulis pernah punya pengalaman sebagai seorang jurnalis dan saat ini sebagai seorang praktisi public relations.
Alan Reynold dari Washinton Pos dalam tulisannya mendefenisikan trial by the press suatu peradilan dengan penggunaan media yang bersifat publikasi massa, yang dilakukan dengan melalui penulisan atau pembicaraan dari satu pihak secara bias, biasanya dilakukan dengan bantuan publikasi secara luas, secara sadar dengan tidak membeberkan keseluruhan fakta yang ada, dengan demikian menjadikan penulisan atau pembicaraan tersebut tidak lagi berimbang dan berakibat menjadikan penulisan atau pembicaraan tersebut bagaikan sebuah putusan pengadilan bagi pihak yang terkait tanpa adanya hak melakukan pembelaan (wikipidia).
Dari defenisi ini dapat kita telaah bahwa trial by the press adalah, pertama, pelakunya adalah insan pers, dimulai dari setingkat Wartawan, redaksi media massa dan pemilik media massa dan pelakuanya bukan lembaga pengadilan.
Kedua, dilakukan secara sadar dan mempunyai media agenda setting dari para pelaku jurnalis. Ketiga, secara sadar bertindak sebagai peradilan, mencari bukti-bukti, menganalisis dan mengkaji sendiri untuk kemudian membuat keputusan sendri dan malahan langsung meng-judge, seolah-olah hasil analisa dan keputusannya sudah merupakan keputusan hukum. Padahal keputusan dan kebenaran yang disampaikan jurnalis bukanlah kebenaran hukum.
Hal ini bagaimana pun akan memberi dampak. Ibarat dua sisi mata uang, akan mempengaruhi peradilan yang memihak atau peradilan yang tidak memihak (impartial court). Apabila Hakim membaca analisa pers yang mengarah ke opini pers terhadap satu kasus dikhawatirkan para hakim akan terpengaruh terhadap analisa pers tersebut. Apalagi jika pers mempunyai kemampuan untuk menunjukan potensi gejolak yang akan ditimbulkan oleh kasus tersebut. Pada realitasnya saat ini apakah masih ada putusan hakim didasari oleh dasar hukum yang kuat dan hati nurani hakim atau karena tekanan publik dan tekanan politis yang tidak dapat dihindari?.
Seorang pakar hukum ternama dan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (2001 – 2004) dan juga mantan Mentri Sekretaris Negara (2004 – 2007) RI, Prof Dr Yusril Ihza Mahendra pernah meng-tweets, ”Media massa sering menjatuhkan vonis sebelum sidang pengadilan, itu namanya Trial By The Press dan bukan Trial By the Court. Akibat trial by the press, orang awam sering terpengaruh opini media."
Menurut Yusril, penegakan hukum akan berjalan baik jika segala sesuatunya dilakukan dengan benar dan adil atau due process of law. Penegakan hukum tidak boleh terpengaruh opini media dalam penegakan hukum. Polisi, jaksa, hakim dan advokat harus bekerja berdasarkan hukum dan alat bukti, bukan opini yang ada pada media. Kalau alat bukti berdasarkan opini media, ini bisa menciptakan peradilan sesat. Jika ada media yang melakukan trial by the press, pertama laporkan kepada Dewan Pers dulu, jika tidak memuaskan bisa digugat melalui PN.
Seorang jurnalis atau wartawan dalam pekerjaannya tidak boleh melakukan trial by the press. Produk tulisan pada media massa tersebut sebagai karya jurnalistik adalah sangat beragam, dari yang di sebut straight news, feature, interpretative, kolom, editorial, karya sastra dan sampai surat pembaca.
Bahan-bahan berita adalah fakta, bisa berupa peristiwa, pendapat orang lain, hasil penelitian, data-data, dan ke semua bahan berita tersebut tetap mengandung 5W + 1 H, : who (siapa), what (apa), where (dimana), when (kapan), why (mengapa) dan how (bagaimana). Dalam membuat berita interpretative news wartawan tidak boleh menghakimi salah satu pihak, apalagi menganggap dirinya yang paling tahu dan paling benar.
Apa Esensi Jurnalisme?
Esensi Jurnalis adalah menyampaikan informasi kepada publik, sehingga publik dapat mengambil keputusan yang berakibat baik bagi kehidupannya (The Element of Jurnalis-Bill Kovach dan Tom Rosenstiel). Kalimat tersebut terkesan sangat sederhana, tapi mempunyai makna yang demikian dalam. Penulis dalam diskusi-diskusi lepas dengan para jurnalis kerap menyampaikan, tanggung jawab para jurnalis sangat berat. Saking sangat beratnya, akibat yang ditimbulkan goretan pena (ketikan tulisan), penayangan gambar, pemilihan judul, penonjolan kalimat dan makna, akan dipertanggungjawabkan jurnalis tersebut di dunia sampai di akhirat. Sebab, hasil karyanya akan mempengaruhi dan merubah kehidupan seseorang dan orang banyak. Jika salah dalam penempatan karya tulis dan membuat orang sengsara, maka dia ikut serta telah menyengsarakan orang-orang dan masyarakat, dan itu suatu perbuatan dosa. Maka kepentingan publik yang didasari tanggung jawab adalah kata kuncinya.
Maka esensi jurnalis atau wartawan yang penulis bisa ingat dan sampaikan mengandung 5 element jurnalis, yaitu: pertama, kewajiban kepada kebenaran, adalah tanggung jawab jurnalis untuk mempertanyakan informasi yang disodorkan kepadanya, jangan sampai informasi tersebut punya agenda tersembunyi (hiden agenda).
Kedua, loyalitas jurnalis kepada warga. Adalah salah besar jika loyalitas jurnalis bukan kepada masyarakat/warga, apatah lagi lebih loyal kepada pemilik medianya. Karena media sering terkooptasi dengan kepentingan pemiliknya, kepentingan bisnis dan kepentingan politik. Maka independensi jurnalis selalu saja "tergugat”. Independensi tidak sama dengan sikap netral. Independensi adalah mengelola editorial berdasarkan hati nurani, kesadaran penghormatan profesi dan kepentingan publik.
Ketiga, Disiplin melakukan verifikasi, karena dengan disiplin melakukan verifikasi akan membedakan jurnalis dengan gossip dan propaganda. Prinsip disiplin verifikasi ini yaitu: jangan menambah nambah sesuatu yang tidak ada, jangan membohongi massa, bersikap transparan atas motif membuat berita, lebih mengandalkan kepada liputan orisinil yang dilakukan sendiri dan bukan hasil liputan orang lain, apalagi “copy paste”, dan bersikap rendah hati, tidak mengganggap diri yang paling tahu apalagi yang paling benar yang suka meng-judge orang.
Keempat, jurnalis memberikan ruang bagi yang mengkritik dan komentar publik. Kelima, menjaga beritanya tetap komprehensif dan proporsional, dengan tetap selalu melakukan verifikasi dan sesuai porsi berita, akurasi serta keberimbangan berita sesuai dengan kaidah dalam etika jurnalistik. Demikian tulisan ini di persembahakan untuk seluruh Jurnalis dan masyarakat. Aamiiin.
Oleh : Ir Nurul Huda, MH
Praktisi PR, Pemerhati Masalah Sosial dan Pers

Next > |
---|