Prahara di Parpol Demokrat memang seperti estafet, panjang dan lama, serta saling bersambung (Tasalsul). Berawal dari problematika tak sedap hasil ulah kader, yang sempat menurunkan pamor PD. Silih berganti hingga kontroversi tentang keluarnya Anas Urbaningrum dari kursi Ketua Umum. Apakah hal tersebut sebuah pencitraan? Tentu ada berbagai penafsiran dan jawaban untuk pertanyaan tersebut.
Jika dengan logika asal-asalan, potret tersebut merupakan hal yang wajar. Silih-ganti merupakan sebuah proses akselerasi, untuk menempa pemimpin yang ulung dan berjiwa heroic. Namun, karena salah persepsi, banyak cara lintas batas demi terwujudnya kemaslahatan pribadi, diatas kesengsaraan orang lain.Apalagi PD merupakan Parpol gajah yang eksistensinya cukup disegani di negeri ini. Terutama di dua periode akhir, karena orang nomor satu di Indonesia merupakan delegasi darinya. Sehingga, gerak-gerik dan langkah PD pasti disoroti secara khusus dan serentak oleh masyarakat Indonesia.
Sepintar-pintarnya menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium. Cobaan adalah sebuah warna dalam kehidupan, tanpa terkecuali PD. Naik-turun merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah proses. Itupun juga hasil kiprah tangan kader Parpol tersebut. Jika dijalankan dengan tangan dingin dan sentuhan apik, hasilnya pun membanggakan. Begitupun sebaliknya.
Namun sepertinya PD harus bersabar, kisruh internal yang terjadi memaksa Presiden yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina PD, dan Ketua Dewan Kehormatan PD turun tangan. Alhasil, memicu banyak kalangan untuk mengkritisi kondisi Parpol gajah tersebut. Bukan hanya kritikan bernada merdu, namun yang pedas dan menusuk juga tak kalah banyak.
Langkah yang diambil SBY memang sedikit kontroversi bagi kalangan tertentu. Apalagi kubu yang kontra terhadap SBY, walaupun toh kader internal PD. Sebab, secara tidak langsung sifat apatis ditunjukkan oleh Presiden Indonesia. Sesungguhnya SBY mengabdi kepada rakyat atau Parpol, padahal amanah yang diemban untuk negara adalah tugas suci. (Muhammad Najib, 04/03/13)
Padahal, di sisi lain SBY mengisaratkan kepada kadernya yang tidak mampu fokus, diperkenankan untuk lepas tangan. Realitanya, justru SBY merangkap jabatannya di balik tonggak kepemimpinan negara, yaitu Presiden yang kadarnya berlipat lebih penting daripada Parpol yang hakikatnya berbaur kepentingan kelompok.
Politik Tebang Pangkal Politik memang jungkir balik. Sedangkan kisruh di PD semata-mata hanyalah hasil permaian politik. Sebab, menurut Peter Merk politik merupakan ajang perebutan kekuasaan, kejayaan, kedudukan, kekayaan untuk dirinya pribadi atau kelompoknya diatas kepentingan umum. Atau juga dapat diinterpretasikan sebagai cara mendapat sesuatu dengan segudang taktik, “poli” artinya banyak, dan “tik” adalah taktik.
Dengan intisari hakikat politik tersebut lah berbagai praktek putih atau kusam terjadi. Kalau mengacu polemik atau dapat dilihat adanya dualismen di internal PD, menurut dosen Program Pasca Sarjana Ilmu Politik UI dan FISIP, Dr. Mohammad Nasih hal tersebut sebagai tindak fir’aunisasi politik. Sebab, para penguasa justru memotong ruang gerak kadernya.
Eksistensi fir’aunisasi memang sudah ada sejak masa lampau. Dengan perjalanan histori Raja Fir’aun yang secara kejam tanpa hati nurani memangkas semua bayi laki-laki yang terlahir, dengan berlatarbelakang menjaga kekuasaannya agar tidak direnggut oleh warganya. (Al-baqoroh: 49) Dari konteks tersebut lah protret fir’aunisasi juga terdapat di negeri demokrasi ini. Atau politik tebang pangkal, yang ironisnya justru dilakukan oleh Presiden.
Karena itu, kredibilitas, kapabilitas, serta komitmen orang nomor satu di Indonesia tersebut perlu dipertanyakan. Perannya untuk rakyat atau Parpol? Sebab, akan sangat murka jika masyarakat di anak tirikan. Toh SBY sudah diberi mandat suci, yang eksistensinya diharapkan sepenuhnya demi kemaslahatan Indonesia secara hakiki. Oleh sebab itu juga, seakan hukum rimba telah berlaku. Siapa yang kuat dialah yang berkuasa.
Budaya Statis di Negeri Demokratis Berbagai elemen juga mengamini bahwa masyarakat Indonesia sedang mengidap sindrom statisme. Romantisme masa lalu, yang memang hakikat Indonesia masa lampau menjadi surga dunia. Dengan saksi bisu eksistensi penjajah yang menggrogoti bumi asri Indonesia selama hampir 3,5 abad. Karena itu, dekonstruksi sifat tersebut harus direalisasikan sedini mungkin.
Ironis memang, budaya statis berada di negeri demokratis. Mengacu prolematika di PD memang demikian. Ada unsur statisme di dalamnya, lebih parahnya sistem demokrasi yang menjadi acuan dasar Indonesia telah ternodai. Sebelumnya, yang dari, oleh, dan untuk rakyat, sekarang lebih condong dari, oleh, dan untuk penguasa. Artinya, kebebasan seutuhnya telah dikekang oleh para penguasa. Sehingga, wajar jika politisi muda runtuh tak berdaya.
Oleh sebab itu, hakikat politik yang baik justru seakan munafik. Diakui mereka handal dalam hal politik, ataupun wawasan tentang kebangsaan. Sayangnya, mereka tidak mampu mensinergikan dengan hati. Yang diutamakan adalah rasio, wajar jika Outputnya demikian. Hal ini memang bukan menjadi wacana baru, sesungguhnya karena itulah dulu Gus Dur memimpin negeri, untuk merubah NKRI.
Sadar sejarah memang dapat dijadikan sebagai kunci jawaban masalah ini. Motivasi dan dukungan harus tetap tertuju kepada masyarakat Indonesia, terlebih para wakil rakyat. Tetap berjuang, mengenang, serta meneladani para pahlawan negara di kala penjajahan, yang gigih tumpah darah untuk bumi pertiwi dan anak cucu nanti. Serta tak lupa dedikasi Nabi Muhammad dengan ciri profetiknya.
Dulu mereka berjuang dengan bambu runcing dan anak panah, sekarang kita dengan pena yang bertinta emas. Dulu mereka berjuang dengan berkuda dan bersenjata tajam, sekarang kita dengan kesadaran, dan kegigihan berintelektual mumpuni dan peka terhadap problenatika lingkungan. Terlebih nafsu, karena menurut Nabi Muhammad SAW pula, musuh terbesar adalah nafsu. Tanpa disadari pula, kisruh di PD juga dilatarbelakangi oleh hawa nafsu. Semoga NKRI terhindar dari marabahaya dan hukum rimba! Wallahu a’lam bi-shawab.***
Mahasiswa Ahwalus Syahsiyah Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dan Pegiat di REGMAS Undaan Kudus.

Next > |
---|