Haluan Riau

Friday, Nov 29th

Last update03:37:00 AM GMT

You are here: NEWS UTAMA Tergantung Surat Balasan PM Abbott

Tergantung Surat Balasan PM Abbott

JAKARTA (HR)-Surat balasan dari Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, sudah diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Apa pun isinya, surat itu akan menentukan nasib hubungan kerja sama antara kedua negara yang sempat memanas pascaterungkapnya aksi penyadapan yang dilakukan pihak Australia.

Namun sejauh ini, apa isi surat balasan dari PM Abbott tersebut belum diketahui. Pihak Istana Negera sendiri belum bersedia membeberkannya ke publik, meskipun sebelumnya ada permintaan supaya isi surat itu diumumkan kepada khalyak umum. Salah satunya dilontarkan Ketua DPD RI, Irman Gusman.
Hal itu dibenarkan juru bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, Minggu (24/11). Meski tak bersedia menyebutkan isi surat secara rinci, secara garis besar Julian mengatakan, surat itu memuat harapan yang konstruktif antara Indonesia dan Australia.
"Mungkin Pak Menlu yang bisa menjelaskan soal itu," kata Julian.
Surat balasan untuk Presiden SBY tersebut diterima Sabtu (23/11) siang, saat sedang di Bali. Sebelumnya, SBY telah mengirimkan surat kepada PM Abbott berisi soal permintaan penjelasan secara resmi soal aktivitas penyadapan yang dilakukan Australia terhadap pejabat-pejabat di Indonesia.
Saat ditanya tentang bagaimana isi detil surat itu, Julian menegaskan pihak, isi surat itu dipastikan tak akan dibuka ke publik.
"Itu surat antar kepala negara. Tidak etis disampaikan pada publik," ujarnya.
Menurut Julian, surat itu ditujukan sebagai penjelasan atas protes yang disampaikan SBY terkait penyadapan. Secara etika, memang tidak ada keharusan untuk membuka isinya secara gamblang ke masyarakat. Yang jelas, surat tersebut kini sudah berada di tangan presiden dan sedang dipelajari bersama Menlu Marty Natalegawa. "Nanti penjelasannya bisa ditanyakan ke menlu," imbuhnya.
Minta Dibuka
Terkait surat balasan itu, sejumlah pihak sempat meminta Presiden SBY membukanya di hadapan publik. Salah satunya, dilontarkan Ketua DPD RI, Irman Gusman.
"Tentu isi surat tersebut harus disampaikan supaya masyarakat tahu sehingga kita bisa memberikan respons juga atas surat tersebut," ujar Irman usai peresmian gedung Plaza IS, Jalan Raya Pramuka, Jakarta Timur, Sabtu (23/11) malam.
Menurut Irman, sebagai warga Indonesia harus bisa memaafkan. Namun ke depan Australia harus betul-betul memperbaiki bentuk komunikasi dan hubungannya dengan Indonesia. Karena bagaimanapun, Australia adalah salah satu negara tetangga terdekat Indonesia.
"Sesuai filosofi lebih dekat tetangga dari pada saudara jauh. Tapi itu juga tergantung isi surat apakah benar menyatakan permintaan maaf dan mengakui melakukan penyadapan karena itu bukan tindakan tepuji. Kita harus tahu isi suratnya apa," tuturnya.
Ditinjau Ulang
Sementara itu, terkait aksi Australia yang dinilai tak pantas itu, menurut Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Rizal Darma Putra, pemerintah Indonesia sudah saatnya mengevaluasi hubungan kerja sama yang dijalin dengan Australia. Khususnya kerja sama militer, pertahanan dan intelijen. Termasuk kerja sama pertukaran informasi.
Salah satu kerja sama yang harus ditinjau ulang adalah kesepakatan Lombok atau Lombok Treaty yang ditandatangani pada tahun 2006, menyusul terjadinya bom Bali I, bom Bali II, dan sejumlah peristiwa terorisme lainnya.
"Ada ataupun tidak permintaan maaf dari PM Australia, pemerintah RI tetap harus meninjau ulang perjanjian kerjasama dengan Australia. Perjanjian kerjasama yang harus dievaluasi atau dihentikan adalah perjanjian 'Lombok Treaty'," ujar Rizal.
Menurutnya, 'Lombok Treaty' menitikberatkan pada kerja sama di bidang pertahanan, keamanan, kontra terorisme, maritime security dan intelijen. Sementara dalam bidang-bidang perjanjian itu, Australia lebih banyak diuntungkan secara strategis dan politik.
Rasionalitasnya menurut Rizal, Australia yang seharusnya berperan sebaga mitra dalam kerjasama yang nilainya strategis, justru malah menempatkan Indonesia sebaga negara yang dicurigai dan menjadi target operasi klandestin intelijen Australia.
Penghentian kerjasama militer atau latihan bersama hanya merupakan reaksi diplomatik yang sifatnya simbolik, bukan suatu penilaian strategis kerjasama bilateral.
"Masalahnya, apakah ikatan perjanjian dengan Australia melalui Lombok Treaty masih bernilai strategis atau tidak manakala Aussie justru memiliki hidden agenda tersendiri?" cetusnya.
Jika Lombok Treaty tidak dievaluasi, sikap tegas pemerintah terhadap Australia saat ini bisa dinilai hanya berlangsung sesaat saja. Melalui Lombok Treaty, sejumlah dana bantuan dan hibah dalam rangka kerjasama militer, kontra terorisme, pelatihan-pelatihan, dan pembangunan lembaga pendidikan intelijen digelontorkan Australia kepada pemerintah Indonesia.
"Justru disitu saya meragukan, karena melalui Lombok Treaty, pemerintah Aussie banyak memberikan sejumlah bantuan dana, asistensi, pelatihan-pelatihan, maupun peralatan dan alutsista. Tapi pemerintah RI justru harus berani memutuskan mata rantai ketergantungan dari Aussie, dan membangun kemitraan strategis dengan negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik, sekaligus membangun keseimbangan kekuatan regional," pungkasnya. (dtc/sis)



AddThis Social Bookmark Button

Add comment


Security code
Refresh