Haluan Riau

Sunday, Jan 26th

Last update10:42:57 AM GMT

YOU ARE HERE NEWS GAGASAN Target Berbahaya di Balik Ide Sertifikasi Ulama

Target Berbahaya di Balik Ide Sertifikasi Ulama

Akhirnya Ansyad  Mbai (Ketua BNPT) buru-buru membantah pihaknya menggulirkan isu sertifikasi ulama di Indonesia. Menurut Ansyad yang benar adalah Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris mencontohkan Singapura yang melakukan sertifikasi ulama. Jurus ngeles ini jalan keluar satu-satunya setelah hampir semua kalangan dari tokoh ormas, para kyai dan bahkan seorang Ketua MK (Mahfud MD) ikut menolak ide sertifikasi. Seperti pepatah "siapa yang menabur angin maka akan menuai badainya", kira-kira prediksi saya terhadap langkah BNPT kedepan akan seperti itu. Kenapa demikian? Sekalipun dalam dua tahun terakhir BNPT banyak menfasilitasi berbagai komponen atau elemen masyarakat untuk membuat berbagai agenda dalam proyek deradikalisasi. Proyek ini nasional, dengan harapan bisa memenangkan hati dan pikiran publik (the strategy of winning the heart and mind), dalam bahasa Ansyad Mbai (Ketua BNPT) sebagai perang untuk memenangkan hati nurani.
Tapi BNPT bisa dibilang kesandung atau gagal, indikasinya begitu mewacanakan sertifikasi ulama ternyata menjadi buah simalakama buat BNPT.Resistensi publik begitu tinggi, muncul komentar dari yang halus hingga "kasar"; ide gila, ide nyleneh, ngawur, sontoloyo, geblek, entah apalagi. Yang jelas itu artikulasi kekesalan publik atas ide atau wacana yang sangat naïf dalam isu terorisme.

Kenapa Ansyad Mbai Cs (BNPT) ingin meraih dukungan dan legitimasi publik? Dikarenakan paradigma yang diadopsi oleh BNPT dalam memetakan fenomena terorisme dan akar penyebabnya menempatkan pemahaman-pemahaman radikal (dalam agama Islam) sebagai faktor atau penyebab utamanya. Maka perlu langkah deradikalisasi dan kontra-radikalisasi. Deradikasilsasi dibangun atas asumsi; adanya ideologi radikal yang mengeksploitasi faktor komplek yang ada (kemiskinan,keterbelakangan, marginalisasi, pemerintahan otoriter, dominasi negara super power, globalisasi, dsb). Akhirnya melahirkan spirit perlawanan untuk perubahan dengan tindakan-tindakan teror ketika jalan damai (kompromi) dianggap tidak memberikan efek apapun. Ideologi radikal ditempatkan sebagai akar sesungguhnya dari fenomena terorisme, dalam kerangka pandangan seperti inilah deradikalisasi di manefestasikan. Dan deradikalisasi dianggap sebagai jawaban tuntas atas persoalan terorisme. Dan BNPT ingin mensublimasi publik dalam paradigma seperti ini, dengan target lenyapnya pemahaman radikal ditengah-tengah mereka (umat Islam). Efek berikutnya jika BNPT berhasil dengan hal tersebut maka akan bisa memuluskan kepentingan-kepentingan yang lebih besar; penguatan legal frame (regulasi) sampai pelarangan kelompok-kelompok yang dicap radikal atau fundamentalis.

Dan hakikat deradikalisasi yang diimplementasikan oleh BNPT itu adalah langkah "soft approach", turunan dari strategi kontra-terorisme. Sebuah kebijakan politik sebagai upaya baik dalam bentuk langkah strategis maupun taktis untuk memotong seluruh variabel yang dipandang sebagai stimulan lahirnya tindakan "terorisme" baik pra maupun pasca (terkait pembinaan terhadap narapidana dan mantan combatan).
Namun sayangnya, bisa dipastikan BNPT menempatkan term radikal dengan pemaknaan yang stereotif, over simplikasi dan subyektif."Radikal" menjadi label yang di lekatkan kepada individu atau kelompok muslim yang memiliki cara pandang, sikap keberagamaan dan politik yang kontradiksi  dengan mainstream yang ada. Atau cap "radikal" itu untuk orang atau kelompok jika memiliki prinsip-prinsip seperti; menghakimi orang yang tidak sepaham dengan pemikiranya, mengganti ideologi Pancasila dengan versi mereka, mengganti NKRI dengan Khilafah, gerakan mengubah negara bangsa menjadi negara agama, memperjuangkan formalisasi syariat dalam negara, menggangap Amerika Serikat sebagai biang kedzaliman global.
Maka yang dimaksud "de-radikalisasi" adalah langkah upaya untuk merubah sikap dan cara pandang diatas yang dianggap keras (dengan julukan lain; fundamentalis) menjadi lunak; toleran, pluralis, moderat dan liberal.

Definisi radikal diatas sangat bias, persis seperti dunia Barat menjelaskan konsep radikal secara simplistik, bahwa radikalisme banyak diasosiasikan dengan mereka yang berbeda pandangan secara ektrem dengan dunia Barat. (lihat laporan utama majalah Time ed 13 September 2004, setebal sembilan halaman menjelaskan konsep radikal menurut kacamata Barat).
Dalam konteks inilah sesungguhnya ide sertifikasi ulama itu di wacanakan oleh BNPT. Upaya untuk memaksa mindset (baca;pikiran, logika berpikir, isi otak) para ulama sama seperti yang di inginkan oleh BNPT. Mereka (BNPT) berharap sekali ulama itu legowo mau mengusung Islam moderat, liberal dan pluralis. Dan mereka yang sudah mendapat sertifikasi itulah yang dianggap legal untuk menyampaikan dakwah ketengah-tengah umat.Menjadi komunikan yang piawai membangun persepsi dan pemahaman umat Islam yang lebih moderat dan pluralis. Dengan begitu benih-benih terorisme akan tereduksi habis.

Cara pandang seperti ini hakikatnya menampar muka BNPT sendiri, secara tidak sadar telah menuduh para ulama yang ada selama ini menjadi biang lahirnya tindakan-tindakan radikal fisik atau bahkan terorisme. Dan tidak salah kalau langkah BNPT dianggap sebagai deradikalisasi yang salah arah, karena dengan jelas-jelas menyudutkan Islam, ulama dan umatnya sebagai habitat subur lahirnya terorisme.Bahkan seolah bernafsu sekali setback membangun kehidupan masyarakat di bawah rezim yang represif dan tirani.
 Jadi sertifikasi ulama pada awalnya sebagai upaya revisi pemikiran.Inilah substansi ide sertifikasi ulama, awalnya tidak masuk di ranah legalitas atau pengakuan. Namun sekalipun BNPT bermaksud hanya main di ranah substansi pemikiran tetap saja akhirnya pada tataran praksis akan mereduksi "titel" ulama. Sebuah "titel" yang hakikatnya bukan hadiah atau pemberian negara atau pemerintah tapi itu adalah pengakuan umat kepada mereka dengan segala parameternya. Ulama itu bukan orang yang memegang SIM (surat izin mubaligh) dari pemerintah untuk bisa ceramah atau dakwah dimimbar-mimbar, forum tertutup maupun terbuka.Sebuah pembodohan jika berupaya membangun mindset masyarakat (umat Islam) penerimaan atau penolakan  mereka terhadap ulama berdasarkan ada tidaknya sertifikat yang dimiliki seseorang. Umat harus sadar bahaya atau implikasinya lebih jauh strategi seperti ini.

Sertifikasi ulama adalah derivat dari strategi counter ideologi radikal (deradikalisasi), dan berdiri diatas paradigma "sarang laba-laba" artinya sangat rapuh sekali.Sebuah upaya revisi pemikiran yang hakikatnya adalah tahrif (penyimpangan) dan tadzlil (penyesatan) pada terma-terma utama yang dituduh sebagai pemicu lahirnya radikalisme dalam Islam. Dalam berbagai forum yang digelar, BNPT berusahan menawarkan tafsiran-tafsiran baru terhadap teks-teks samawi. Karena selama ini pemahaman yang dianggap radikal terhadap teks-teks (nash) menjadi sumber lahirnya terorisme. Karena itu BNPT dalam perang pemikiran dan opini berusaha "mengkonstruksi" ulang beberapa pengertian terhadap terminologi-terminologi tertentu. Misalkan BNPT selalu menampilkan "ijtihad-ijtihad" baru terhadap istilah:  1.Jihad/istishad/ightiyalat dan intihar, 2. Klaim kebenaran, 3. Amar ma'ruf nahyi munkar, 4. Hijrah, 5. Thagut, 6. Muslim dan kafir, 7.Ummatan washat, 8.Doktrin konspirasi, 9. Tasamuh, 10. Daulah Islam dan Khilafah.
Misalkan masalah "jihad"; BNPT berusaha menampilkan tafsiran yang menyempitkan makna jihad. Dan berusaha mengaborsi dengan argumentasi yang  "lacut" bahwa jihad tidak lagi harus di maknai sebagai "al Qital". Maka hakikatnya ini bukanlah "ijtihad" melainkan dekonstruksi terminologi yang telah baku ditentukan oleh syariat.
 Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA
Saif Al Battar

AddThis Social Bookmark Button

Add comment


Security code
Refresh