There was a problem loading image /home/haluanri/public_html/images/stories/120719/120719-01-jefry-geovani.gif
There was a problem loading image /home/haluanri/public_html/images/stories/120719/120719-01-jefry-geovani.gif
Keunggulan (sementara) pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta, Rabu (11/7/2012) lalu ada baiknya kita lihat sebagai momentum untuk menggalang perubahan, bukan hanya di ibu kota, tapi juga di seluruh persada Indonesia. Mengapa? Pertama, banyak upaya dilakukan oleh kepala daerah (gubernur) inkumben untuk tetap mempertahankan kursinya, dari dugaan penggalangan birokrasi yang nota bene bersifat hierarkhis, penyebaran bantuan dana hibah ke berbagai kalangan yang jumlahnya luar biasa, dan jor-joran biaya iklan di berbagai media, tapi semuanya cenderung hanya dianggap angin lalu oleh warga Jakarta.
Menjaga Bahkan penggalangan opini melalui lembaga-lembaga survei pun gagal untuk membendung kehendak warga Jakarta yang menginginkan perubahan.
Kedua, Jakarta adalah barometer Indonesia. Di Jakarta, semua kebijakan politik, ekonomi, hukum, dan lain-lain dirancang, diputuskan, dan diterapkan ke seluruh Indonesia. Dan di Jakarta pula, representasi etnis dan entitas budaya dari seluruh Indonesia ada dan karenanya bisa menjadi etalase dari semuanya.
Dengan demikian, jika Jakarta menginginkan perubahan maka keinginan yang sama juga tengah melanda seluruh rakyat Indonesia. Hasil pilkada Jakarta pada dasarnya hanya mengkonfirmasi dari sejumlah hasil survei nasional tentang siapa calon presiden dan wakil presiden yang akan dipilih rakyat pada Pemilu 2014? Jawabannya, sekitar 60 persen belum menentukan pilihan.
Tokoh-tokoh yang sudah bermunculan saat ini, termasuk yang sudah ditetapkan partainya, dan sudah berkampanye ke berbagai media serta memasang baliho dengan foto diri ukuran jumbo yang disebar ke seluruh pelosok negeri, toh tetap belum menjadi pilihan rakyat. Artinya, rakyat menginginkan tokoh lain. Tokoh-tokoh yang ada dianggap masih menjadi bagian dari status quo, karena selain ada yang sudah berstatus mantan presiden atau wakil presiden, pada umumnya sudah pernah maju menjadi calon presiden atau wakil presiden. Dari yang ada, belum ada yang benar-benar dianggap baru dan layak mewakili kekuatan perubahan.
Maka, sebagai momentum perubahan, semangat warga Jakarta yang menginginkan pemimpin baru harus terus kita jaga. Banyak upaya dilakukan berbagai kalangan untuk membajak semangat perubahan ini, misalnya dengan menyebarkan fitnah-fitnah yang tak masuk akal atas pasangan Jokowi-Ahok. Syukurlah pasangan ini tak bergeming dengan menganggap fitnah-fitnah itu sebagai bumbu dalam proses persaingan politik yang harus dilalui, sebagai ujian kecil yang jika diladeni hanya akan mebuang-buang waktu dan energi.
Serangan yang tidak kalah dahsyat juga dengan menyebarkan isu etnis dan agama yang dikait-kaitkan dengan (seolah-olah) akan menghancurkan masa depan etnis atau agama tertentu di Jakarta. Saya yakin, upaya ini pun tidak akan berhasil. Malah bisa jadi akan semakin membuat rakyat militan untuk melakukan perubahan, karena rakyat bukan kambing congek yang bisa digiring kesana-kemari dengan isu-isu tak penting.
Perubahan adalah bagian dari sunnatullah. Perubahan adalah hukum alam yang niscaya, tidak akan terhenti hanya karena isu etnis, agama, atau yang lainnya. Pada saat perubahan sudah menggema, yang bisa kita lakukan adalah bagaimana mengarahkan agar perubahan itu berjalan konstruktif. Caranya dengan meletakkan dasar-dasar perubahan itu dengan landasan yang kokoh sebagaimana dulu para pendiri bangsa ini meletakkan dasar-dasar Indonesia merdeka.
Salah satu landasan yang penting adalah bagaimana menjadikan keragaman etnis, budaya, agama, dan lain-lain sebagai kekuatan yang harus dijaga dan dipelihara untuk memupuk semangat nasionalisme. Yakinlah, kekuatan nasionalisme yang dibangun di atas keragaman (heterogenitas) akan lebih kokoh dan produktif jika dibandingkan dengan nasionalisme yang dibangun di atas homogenitas yang monolitik.
Jika heterogenitas bisa menjadi lahan subuh bagi tumbuhnya demokrasi maka homogenitas bisa menjadi alat yang efektif untuk menopang kekuatan tirani. Maka dari itu, setiap upaya untuk membangun dan memperkuat fanatisme etnis atau agama tertentu harus dilawan dengan semangat nasionalisme yang menjunjung tinggi keberagaman dalam persatuan (bhineka tunggal ika). Hanya dengan upaya inilah, momentum perubahan yang tak terbendung itu, bisa menjadi kekuatan politik dan budaya yang konstruktif bagi masa depan kita bersama, di Jakarta dan di seluruh nusantara.
Next > |
---|