Haluan Riau

Sunday, Jan 26th

Last update10:42:57 AM GMT

YOU ARE HERE NEWS INTERNASIONAL Kearifan Lokal Sebagai Modal Sosial

Kearifan Lokal Sebagai Modal Sosial

Pepatah Melayu, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung menjadi ihwal atas resam adat Melayu yang sudah terpatri hingga turun temurun. Kebersamaan ini harus dipertahankan untuk membangun Riau ke depan. Sikap menjaga marwah diri dan menjaga keutuhan budaya sesama, juga dinilai dapat mempertahankan cita rasa sejati dari nilai-nilai semangat dan geliat positif yang menjadi warisan turun-temurun. Seperti nilai keterbukaan, nilai senasib sepenanggungan, nilai senenek semoyang, nilai seadat sepusaka, sepucuk setali darah, nilai sesampan-sehaluan serta nilai menegakkan marwah dalam musyawarah dan menegakkan daulat dalam mufakat.
Demikian disampaikan Ketua Majelis Kerapatan Adat (MKA) Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Tenas Effendy. Pria yang tunak dengan semangat kemelayuan ini terus memberikan andil besar terhadap revitalisasi kemajuan budaya melayu Riau di kancah nasional.
"Setapak langkah yang harus dilakukan agar lingkar budaya Melayu tak terputus adalah memperkuat rasa peduli terhadap dinamika budaya itu sendiri. Terus memupuk semangat berbudaya dan menjadikannya sebagai acuan yang dapat membangun semangat untuk diri sendiri dan masyarakat sekitar," jelas Tenas dalam sebuah pertemuan budaya dengan berbagai kalangan di Pekanbaru, baru-baru ini. 
Tenas mencontohkan ketika masyarakat melayu di Provinsi Kepulauan Riau harus terpisah secara administrasi dengan Provinsi Riau. "Jangan sampai pancang Melayu Kepri tercabut dari tanahnya sendiri, akibat masyarakat Melayu meninggalkan adat dan resamnya. Jadilah tuan di negeri sendiri," ingatnya.
Kearifan lokal di peringkat etnik juga bisa bermacam-macam bidang. Misalnya untuk merespons alam sekitar manusia membuat rumah sekalian dengan aspek-aspek spiritual untuk menjaganya. Begitu juga dengan sistem perkawinan, ada yang mendasarkan kepada perkawinan di luar klen (eksogamus), perkawinan untuk kepentingan politik kekuasaan, perkawinan perempuan melamar lelaki atau sebaliknya.
Dari mengangkat kearifan lokal melayu inilah, diperlukan pengkajian yang lebih baik untuk memberikan penafsiran dan pemaknaan yang tepat dengan istilah kearifan lokal. Untuk itu, batasan wilayah, masyarakat, agama, adat dan etnis dengan sendirinya menjadi batasan nilai-nilai kebajikan yang disebut kearifan lokal. Dengan kata lain, setiap komunitas (etnis, agama, daerah) tersebut pasti memiliki nilai-nilai luhur tertentu yang dipandang baik, dijadikan aturan dan norma sosial, minimal dalam komunitas itu sendiri.
Sebut saja seperti kearifan masyarakat Melayu dalam menjaga sungai, khususnya di Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Dengan adanya lubuk larangan harus diikuti semua masyarakat tepian sungai. Karena dalam budaya Melayu sungai berhubungan erat dengan hutan rimba dan tanah sawah ladang dan sebagainya. Oleh karena itu pertama, sungai dianggap masyarakat Melayu sebagai lambang tuah dan marwah masyarakat Melayu.
Hanya saja, belakangan gelombang pendatang ke kota-kota di Tanah Melayu kian menegaskan, Bumi Melayu tak berumpun satu.  Mereka dari latar dan corak budaya, dan tentu tak serta mereka seketika menyesuaikan diri di tanah orang.  Sampai di sini, kalau tak cukup bijak, kearifan lokal bisa jadi sebatas tambal.
Menyikapi hal ini, pengamat sosial Andree MA, mewanti-wanti agar seluruh elemen warga di Bumi Lancang Kuning ada baiknya merenung ulang, apa gerangan yang sudah 'hilang' dari masyarakat Melayu akhir-akhir ini. "Pertama soal karakter masyarakat Riau, sepertinya tak terlalu terbuka dengan perubahan. Dari kacamata sosial, biasanya masyarakat itu akan berkembang kalau mengambil nilai baik dari yang lama dan mengambil nilai baik juga dari yang baru. Misalnya figuritas pada orang yang lama. Kedua, terkait gejala sosial seperti penyiksaan orangtua terhadap anak, ini bukti secara sosial kita tidak sehat.  Ada hal-hal terpendam yang semestinya jadi masalah, tapi tak terlalu muncul ke permukaan atau semacam kelembaman (inersia)  Hal ini terjadi karena kita kurang memupuk modal sosial," ungkap Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Abdurrab itu.
Lebih jauh dikatakan, budaya saling percaya selama ini  terkadang berubah jadi saling curiga. Hal ini menyebabkan hubungan tak bagus. Lalu hubungan timbal balik antar  individu dalam berbagai tingkatan juga mulai memudar. Saling keterkaitan atau resiprok city itu mulai merenggang. Gejala ini lebih nampak pada warga perkotaan. Contohnya pembangunan tempat hunian berupa cluster yang kuldesak (satu pintu) yang seakan menyiratkan, ada sekat dalam tatanan masyarakat. Kemudian sense belonging atau rasa memiliki kepada negeri Melayu juga mulai abai. Pemicunya bisa jadi semangat kedaerahan yang meminjam istilah anak muda sekarang, lebay. Padahal, siapapun individu yang memberi kontribusi kepada Tanah Melayu ini, apa salahnya di apresiasi.
Namun Andree juga menarik benang merah dari fenomena sosial yang sedemikian. Adalah kearifan lokal budaya melayu yang egaliter, duduk sama rendah berdiri sama tinggi semestinya dilecutkan lagi. Karena budaya ini bisa menghilangkan kasta-kasta dalam tatanan sosial tadi. Budaya Melayu lainnya seperti sopan santun dan terkenal dengan bahasa verbalnya yang baik, juga selayaknya digaungkan lebih kencang lagi.  Budaya saling tegur sapa, memainkan peran sesuai dengan fungsi masing-masing diyakini bakal mengeratkan ikatan-ikatan yang belakangan melonggar itu. "Mari membangun dunia sosial yang sehat," pungkas Andree.    
Sayangnya, isu sosial  kerap tertinggal, karena mungkin tak semenarik dibanding isu politik, ekonomi dan yang lainnya. Padahal, bicara sosial dan budaya artinya bicara yang menjadi esensi manusia itu sendiri.
Di bagian lain, Ketua Departemen Adat, Seni, dan Budaya Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia Muhammad Takari menilai, kearifan (kebijaksanaan) sesuatu yang didambakan umat manusia di dunia ini. Kearifan tersebut tambahnya, dimulai dari gagasan-gagasan dari individu yang kemudian bertemu dengan gagasan individu lainnya, seterusnya berupa gagasan kolektif. Takari juga menyebut, kearifan lokal biasanya dicipta dan dipraktikkan untuk kebaikan komunitas yang menggunakannya.
Disebutkan, orang Melayu sangat cerdik, sangat pintar dan manusia yang sangat sopan di seluruh Asia. Juga sangat baik, sopan-santun, lebih pembersih dalam cara hidupnya dan pada umumnya begitu rupawan sehingga tidak ada manusia lain yang bisa dibandingkan dengan mereka, umumnya mereka pengembira.
Setidaknya banyak yang menyebut jika tidak dari orang melayu sendiri, siapa lagi yang akan membangun negeri Bumi Lancang Kuning. Salah satu syaratnya, mesti terbuka dengan sisi-sisi perubahan zaman. Apalagi jika memang impian Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu 2020 bakal diwujudkan. (hrc/aag)

AddThis Social Bookmark Button

Add comment


Security code
Refresh